Selasa, 10 Mei 2011

Pkn sebagai disiplin ilmu

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Kewarganegaraan mengalami perubahan nama sejak kurikulum 1957 sampai sekarang. Beberapa istilah yang pernah digunakan antara lain mulai dari Civics, Kewarganegaraan, Pendidikan Kewargaan Negara, Civics dan Hukum, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Meskipun demikian Pendidikan Kewarganegaraan pada hakikatnya mempunyai substansi yang sama, yakni berkaitan dengan pengajaran politik, demokrasi, hak dan kewajiban warganegara.
Pada masa sekarang kehadiran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) harus betul-betul dimaknai sebagai jalan yang diharapkan akan mampu mengantar bangsa Indonesia menciptakan demokrasi, good governance, negara hukum dan masyarakat madani yang diidealkan seluruh masyarakat. (TIM ICCE, 2005). Pendidikan Kewarganegaraan secara subsatantif bertujuan mendidik warganegara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pendidikan kewarganegaraan masuk sebagai mata kuliah dari sejak lama yang bermula pada tahun 1907 dipelopori oleh W.A. Dunn yang disebut gerakan Community Civics. Gerakan ini sebagai wujud keinginan lebih fungsionalnya pelajaran (mata kuliah) civics bagi para peserta didik (siswa dan mahasiswa) dengan menghadapkan mereka kepada lingkungan atau kehidupan mereka sehari-hari dalam hubungannya dengan ruang lingkup lokal, nasional, maupun internasional. Perkembangan pengajaran civics atau pendidikan kewarganegaraan selanjutnya tidak terlepas dari pengajaran civics di Amerika sejak tahun 1790, seperti yang dikemukankan oleh Numan Somantri (Suriakusumah,1992) “pengajaran civics mulai diperkenalkan tahun 1790 di Amerika Serikat dalam rangka meng-Amerikakan bangsa Amerika atau terkenal dengan Theory of Americanization”
Berdasarkan fenomena tersebut maka Pendidikan Kewarganegaraan (Civics) kemudian dikaji secara lebih mendalam, baik sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu maupun Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu atau/Pendidikan Disiplin Bidang Studi.
B. Rumusan Masalah
Dari apa yang telah dipaparkan di atas, untuk lebih menfokuskan kajiannya maka penulis memaparkan makalah ini dengan permasalahan umum “bagaimanakah kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu?”. Dengan sub-sub masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Pendidikan Disiplin Ilmu?
2. Apakah Pendidikan Kewarganegaraan masuk kedalam sebuah disiplin ilmu?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini secara umum adalah untuk mendeskripsikan lebih mendetail tentang konsep pemahaman akan kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu. Dan secara khusus adalah sebagai salah satu bentuk partisipasi dalam menyelesaikan tugas perkuliahan yang diberikan oleh dosen Pengampuh mata kuliah Landasan dan Teori Pendidikan Kewarganegaraan.
D. Metode Penulisan
Dalam mengkaji permasalahan di atas, penulis menggunakan metode analisis literatur kepustakaan dan data-data yang bersumber dari media internet yang dipadukan dengan hasil analisa penulis.

BAB II
PEMBAHASAN
MEMAHAMI KEDUDUKAN PKN SEBAGAI PENDIDIKAN DISIPLIN ILMU

A. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu
Pendidikan kewarganegar¬aan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizenship) untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. . Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatu crash program. Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status perta¬ma, kedua, ketiga, dan keempat. Sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru dalam statusnya yang ketiga yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu (Somantri:1998), pendidikan kewarganegaraan merupakan program pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP) Jurusan atau Program Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini. Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah pendidi¬kan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan kewarganegaraan.
Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan kewarganegaraan. Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cender¬ung lebih terpusat pada profesionalisme guru. Sementara itu riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegar¬aan sebagai suatu sistem pengetahuan, belum banyak mendapat¬kan perhatian. Disiplin ilmu pendidikan lebih kepada pendidikan tentang ilmu pendidikan seperti misalnya fakultas ilmu pendidikan. Sedangkan pendidikan disiplin ilmu mengacu kepada fakultas lainnya seperti pendidikan MIPA, pendidikan IPS, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Bahasa, dan lain sebagainya.
Program pendidikan disiplin ilmu bidang studi ilmu sosial dirumuskan sebagai “program pendidikan yang menyeleksi disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan” (hlm. 19, Dokumen ISPI, 1995). Rumusan akademik tentang pendidikan disiplin ilmu/bidang studi tersebut bertujuan untuk memberikan manfaat bagi pencapaian tujuan dan program pendidikan, khususnya untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Akan tetapi, karena pendidikan keguruan mempunyai fungsi mengembangkan akademik tingkat perguruan tinggi dan harus dapat menerapkannya untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, maka karakter pendidikan disiplin ilmu yang dibina harus memperhatikan dan mempelajari segala sesuatu yang berkenan dengan sifat peserta didik, kurikulum, buku pelajaran, serta sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menegah.
Sama halnya dengan disiplin ilmu pendidikan, pendidikan disiplin ilmu atau bidang studi harus merujuk kepada tiga unsur disiplin ilmu, yakni;
1. A community of scholars who choose to call themselves by a particular name,
2. A body of thinking, speaking and above all, writing by these scholars, which consist of facta, concepts, generalizations and theories,
3. A method of approach to knowledge, i.e process whereby these scholars acquire, organize, and use their knowledge (Dufty, 1986:154)
Rujukan ketiga unsur disiplin ilmu tersebut hendaknya diikuti oleh masyarakat ilmiah ilmu pendidikan yang melalui pendekatan syntactical structure dan conceptual structur menghasilkan berbagai penelitian pendidikan. Pendidikan disiplin bidang studi merupakan suatu synthentic discipline, baik dilihat dari perkembangan akademik IKIP maupun peningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah serta kemungkinan penugasan di luar bidang kependidikan sekalipun (Wider mandate, Numan Somantri, 2001)
Disiplin ilmu pendidikan dan pendidikan disiplin ilmu dituntut untuk berinteraksi dalam keseluruhan jaringan ilmu, teknologi, dan seni demi pemecahan masalah pembangunan nasional. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila Disiplin Ilmu Pendidikan dan Disiplin Pendidikan ilmu tidak terlalu melihat pendidikan secara mikro seperti prosese belajar mengajar di kelas, melainkan harus meleburkan diri secara makro dan inter-serta trans-disipliner dengan berbagai disiplin ilmu lainnya. Adapun cirri-ciri dari Pendidikan Disiplin Ilmu dalam banyak kepustakaan dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Pendidikan Disiplin Ilmu adalah hasil rekayasa “intercross-, dan trans-discipliner” antara Disiplin Ilmu Pendidikan dengan disiplin ilmu “murni” (di universitas) untuk tujuan pendidikan dasar, menengah, dan Fakultas Pendidikan (bidang studi).
2. Pendidikan Disiplin Ilmu merupakan seleksi, adaptasi, modifikasi dari hubungan inter-discipliner antara Disiplin Ilmu Pendidikan dan disiplin ilmu (universitas) yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. (NCSS).
3. Pendidikan Disiplin Ilmu “is conceive as the subject matter of the academic disciplines somehow selected, simplifield, adapted, and modified for school instruction” (NCSS).
4. Pendidikan Disiplin Ilmu ada juga yang menyebutnya “middle studies” karena berdiri pada dua disiplin ilmu, yaitu sains dan humaniora (Earl Johnson).
Selanjutnya menurut Numan Somantri (2001):
pendidikan Disiplin Ilmu adalah suatu batang tubuh disiplin (baru) yang menyeleksi konsep, generalisasi dan teori dari struktur disiplin-disiplin ilmu (universitas) dan Disiplin Ilmu Pendidikan yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Karena tujuan akhir Pendidikan Disiplin Ilmu adalah tujuan pendidikan itu sendiri, maka keterkaitan Pendidikan Disiplin Ilmu ini sangat luas di antaranya dengan agama, filsafat ilmu, filsafat pancasila, sains, teknologi dan masalah-masalah social yang dihadapi.
Sebagai batang tubuh disiplin baru, Pendidikan Disiplin Ilmu tetap memiliki sifat-sifat disiplin ilmu dan berinteraksi dengan disiplin ilmu pendidikan:
1. Pendidikan Disiplin Ilmu harus menciptakan “a community of scholars”.
2. Pendidikan Disiplin Ilmu harus merupakan “a body of thinking, speaking, and above all, writing by these scholars which consist of fact, concepts, generalizations, and theories”.
3. Pendidikan Disiplin Ilmu harus merupakan “a method of approach to knowledge, i.e a process whereby these scholars acquire, organize, and use their knowledge” (Dufty, 1986).
Dalam forum komunikasi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Yogyakarta tahun 1991, dirumuskan tentang Disiplin Ilmu Soaial sebagai berikut:
Pendidikan Disiplin Ilmu Sosial adalah seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu social yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan pendidikan FPIPS dalam kerangka pencapaian tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila, sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Berkaitan dengan hal di atas maka kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bagian dari pendidikan disiplin ilmu social, tidak terlepas dari konsep disiplin ilmu social itu sendiri, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan disiplin ilmu social yang tidak tidak dapat dipisahkan dari pendidikan disiplin ilmu politik dan hukum yang juga bernaung di bawah pendidikan disiplin ilmu sosial. Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk kajian lintas-bidang keilmuan ini pada dasarnya telah memenuhi kriteria dasar-formal suatu disiplin (Dufty,1970; Somantri:1993) yakni mempunyai community of scholars, a body of thinking, speaking, and writing; a method of approach to knowledge dan mewadahi tujuan masyarakat dan warisan sistem nilai (Somantri:1993). Ia merupakan suatu disiplin terapan yang bersifat deskriptif-analitik, dan kebijakan-pedagogis. Jika dilihat dari pandangan Kuhn (1970) secara paradigmatik, pendidikan kewarganegaraan baru memasuki pre-paradigmatic phase atau proto science. Untuk dapat menggapai statusnya sebagai normal science diperlukan berbagai penelitian dan pengembangan lebih lanjut oleh anggota komunitas ilmiah “pendidikan kewarganegaraan” sehingga dapat melewati proses artikulasi sosialisasi-pengakuan-falsifikasi-validasi-pengakuan sebagai disiplin yang matured. Di samping itu, juga konsep pendidikan kewarganegaraan digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaran sebagai program pendidikan demokrasi.
Sedangkan Ilmu Kewarganegaraan sebagai disiplin ilmu bertujuan untuk mengemangkan konsep, teori mengenai peranan warga negara dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain berkenaan dengan demokrasi politik yang meliputi hak dan kewajiban, kegiatan dasar manusia, yang diorganisir secara ilmiah, pdagogis, dan psikologis. Sehingga dengan orientasi yang fundamental tersebut, diharapkan terbentuknya warga negara yang baik dapat direalisasikan secara optimal.
Dalam kajiannya sebagai salah satu dari pendidikan disiplin ilmu, istilah Pendidikan Kewarganegaraan sering disamakan dengean Ilmu Kewarganegaraan. Namun sebenarnya, Pendidikan Kewarganegaraan cakupannya lebih luas dari pada Ilmu Kewarganegaraan , terkait dengan tujuan Pendidikan Kewarganegaraa yang merupakan disiplin ilmu sebagai bentuk pembelajaran dari proses dan cara pembinaan terhadap warga negara menjadi warga Negara yang baik dengan acuan disiplin ilmu dari Ilmu kewarganegaraan. karena antara Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Kewarganegaraan adalah satu rangkaian disiplin ilmu yang saling berkaitan maka diperlukan sebuah konsep dimana antara Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Kewarganegaraan saling mengisi satu sama lain. Sehingga terjalin hubungan konsep yang berkesinambungan.
B. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Disiplin Ilmu
Pendidikan Kewarganegaraan (Civics) sebagai suatu ilmu Kewarganegaraan memenuhi syarat sebagai sebuah ilmu seperti ilmu pengetahuan lainnya. Civics juga merupakan kumpulan dari berbagai macam pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari para pakar, khususnya ilmu politik yang dipadukan secara harmonis dan telah diuji kebenarannya. Menurut pandangan para pakar ilmu pengetahuan, suatu pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu apabila suatu pengetahuan memenuhi persyaratan-persyaratan seperti bersifat objektif, sistematis, eksperimental, memperluas pengetahuan, dan memiliki metode. (Suriakusumah, 1992).
1. Objektif
Artinya bahwa kesimpulan yang ditarik bebas dari perasaan-perasaan maupun prasangka-prasangka perseorangan, serta menjauhi hal-hal yang bersifat subjektif. Memang civics mempelajari perilaku manusia yang selalu penuh dengan dinamika, sehingga sulit diramalkan secara ilmiah. Namun demikian setiap ilmu berusaha menyederhanakan bahan penelitiannya. Dewasa ini ilmu-ilmu social termasuk didalamnya civics/Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri telah mengembangkan berbagai teknik kuantitatif penggunaan konsep-konsep, generalisasi-generalisasi, serta teori-teori yang dapat diuji secara empiris.
2. Sistematis
Dalam arti ilmu berupaya melihat sejumlah observasi yang kompleks dalam hubungan yang logis. Guna melihat keseluruhan dunia kenyataan, Pendidikan Kewarganegaraan membentuk berbagai macam teori-teori maupun pengertian-pengertian dari para ahli, yang dapat memberikan pegangan dalam mempelajari keadaan lingkungan sekitarnya.
3. Eksperimental
Kesimpulan yang ditarik sebagai suatu hasil penelitian seyogyanya merupakan hasil percobaan, sebab dengan eksperimenlah dapat diperoleh kesimpulan yang seobjektif mungkin berdasarkan pengujian yang berulang-ulang. Dalam teori perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dapat dipelajari banyaknya eksperimen yang dilakukan oleh para ahli dalam upaya meningkatkan persatuan dan kesatuan bansa sesuai dengan perkembangan serta tuntutan perubahan zaman.
4. Memperluas Pengetahuan
Artinya suatu pengetahuan tidak berhenti setelah dipecahkannya suatu masalah, akan tetapi pemecahan masalah tersebut kiranya memberi kesempatan membuka suatu permasalahan baru. Demikian pula dengan civics, para pakar tidak berhenti pada suatu masalah yang telah mereka pecahkan, justru dengan pengetahuan itulah mereka berusaha mengetahui bahwa ada sesuatu yang lain yang belum mereka ketahui. Hal ini dapat dilihat dari perkembangannya pelajaran civ cs, baik di Negara-negara asing maupun di Indonesia yang berkaitan dengan isi maupun peristilahannya.
5. Memiliki Metode
Hakikat ilmu yang utama adalah sebagai suatu metode pendekatan terhadap keseluruhan dunia empiris, yaitu dunia kenyataan yang dapat dikenal oleh manusia melalui berbagai macam pengalamannya. Civics tumbuh dan berkembang berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris manusia dalam hubungannya dengan negaranya masing-masing. Dari berbagai macam pengalaman tersebut dilakukanlah berbagai cara pendekatan yang dari waktu ke waktu diharapkan menjadi lebih baik serta bermanfaat.
Selain itu, sebuah ilmu juga harus memiliki unsur ontologi, epistimologi dan aksiologi. Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu yang bersifat terapan. Oleh karenanya pendidikan kewarganegaraan juga memiliki ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur tadi akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Unsur Ontologi
Unsure ontologi pendidikan kewarganegaraan memiliki dua dimensi, yakni objek telaah dan objek pengembanngan (Winataputra, 2001). Objek telaah adalah keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praksis. Yang dimaksud dengan aspek idiil pendidikan kewarganegaraan adalah landasab dan kerangka filosofik yang menjadi titik tolak sekaligus sebagi muaranya pendidikan kewarganegaraan Indonesia. Yang termasuk ke dalam aspek idiil disini adalah landasan dan tujuan pendidikannasonal yangtertuang dalam UUD 1945 dan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sementara itu, yang dimaksud dengan aspek instrumental pendidikan kewarganegaraan adalah sarana programatik kependidikan yang sengaja dibangun dan dikembangkan untuk menjabarkan substansi aspek-aspek idiil. Yang termasuk ke dalam aspek instrumental tersebut adalah kurikulum, bahan belajar, guru, media, dan sumber belajar, alat penilaian belajar, ruang belajar dan lingkungan.
Adapun yang dimaksud dengan praxis dalam bahasa Latin, pendidikan kewarganegaraan adalah perwujudan nyata dari sarana programatik pendidikan yang kasat mata, yang pada hakikatnya merupakan penerapan konsep, prinsip, prosedur, nilai, dalam pendidikan kewraganegaraan sebagai dimensi yang berinteraksi dengan keyakinan, semangat dan kemampuan para praktisi, serta konteks pendidikan kewarganegaraan yang didikat oleh substansi idiil sebagai dimensi pronesis yakni truth and justice (Carr and Kemis: 1986 dalam Budimansyah & Suryadi). Yang termasuk ke dalam praksis pendidikan kewarganegaraan adalah interaksi belajar di kelas dan atau di luar kelas dan pergaulan social-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang memberi dampak edukatif kewarganegaraan.
Sedangkan objek pengembangan pendidikan kewarganegaraan adalah ranaha social-psikologis, yakni keseluruhan potensi social peserta didik yang oleh Bloom (1956), Kratzwohl (1962), Simpson (1967), dikategorikan sebagai ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik, yang secara programatik diupayakan untuk ditingkatkan kualitas dan kuatitasnya melalui kegiatan pendidikan.
Aspek kepribadian warganegara yang perlu dikembangkan adalah menjadi insane berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (Visi Pendidikan Nasional menurut UU No. 20 tahun 2003). Sejalan dengan hal ini Depdiknas berhasrat untuk menghasilkan insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif. Cerdas komprehensif meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas social, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetik. Sedangkan maksud manusia kompetitif adalah memiliki kepribadian unggul dan gandrung akan keunggukan, bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, inovatif, produktif, sadar mutu, berorientasi global, pembelajar sepanjang hayat.
2. Unsur Epistimologi
Epistimologi pendidikan kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan metodologi pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru melalui metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Sedangkan metode pengembangan digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan rekayasa kulikuler yang relevan guna mengembangkan aspek-aspek social-psikologis peserta didik dengan cara mengorganisasikan berbagai unsure instrumental dan kontekstual pendidikan. Metode penelitian dan metode pengembangan dapat pula diperlakukan secara terintegrasi sebagai kegiatan penelitian dan pengembangan, seperti dalam bentuk kegiatan penelitian tindakan atau “action research”.
3. Unsur Aksiologi
Aksiologi pendidikan kewarganegaraan adalah berbagai manfaat dari hasil penelitian, hasil pengembangan, dan/atau hasil penelitian dan pengembangandalam bidang kajian pendidikan kewarganegaraan yang telah dicapai bagi kepentingan dunia pendidikan, khususnya bagi dunia persekolahan dan pendidikan tenaga kependidikan. Salah satu contoh penting manfaattersebut adalah dikembangkannya berbagai model pembelajaran nilai yang merupakan salah satu misi dari pendidikan kewarganegaraan.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari paparan permasalahan di atas, maka dapat disimpukan beberapa hal yang berkaitan dengan kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu, antara lain:
1. Pendidikan kewarganegar¬aan dalam pengertian sebagai citizenship education, mempunyai lima status yakni; sebagai mata pelajaran di sekolah; sebagai mata kuliah di perguruan tinggi; sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru; sebagai program pendidikan politik dan Pancasila; dan sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran ndividual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status perta¬ma, kedua, ketiga, dan keempat.
2. Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya.
3. Secara pendidikan disiplin ilmu kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan kewarganegaraan.
4. Program pendidikan disiplin ilmu bidang studi ilmu social dirumuskan sebagai “program pendidikan yang menyeleksi disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora yang diorganisasikan dan sajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan
5. Pendidikan Kewarganegaraan memenuhi syarat sebagai suatu disiplin ilmu.
B. Saran
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu perlu mendapat kajian yang lebih spesifik lagi dari kita selaku kaum ilmuan. Hal ini mengingat kompleksnya permasalahan yang terdapat di dalamnya, yang menuntut kita untuk mengkaji lebih mendalam, baik secara konseptual maupun kontekstual pemahaman yang menyeluruh bila kita ingin Pendidikan Kewarganegaraan tetap eksis dalam perkembangan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Sumantri, N. (2005). Menggagas Pembahruan Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suriakusumah. (1992). Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan dan Masalah Warganegara. Bandung: IKIP Bandung.
TIM ICCE UIN JAKARTA. (2005). Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.
ProdiPKNSPsUPI. Powered by WordPress | Talian designed by VA4Business, Virtual Assistance for Business who's blog can be found at Steve Arun's Virtual Marketing Blog

1 komentar: