Selasa, 10 Mei 2011

PERLINDUNGAN TERHADAP KEPENTINGAN NASIONAL MELALUI PENGECUALIAN PENERAPAN PRINSIP PRINSIP WTO UNTUK NEGARA BERKEMBANG


PERLINDUNGAN TERHADAP KEPENTINGAN NASIONAL MELALUI PENGECUALIAN
PENERAPAN PRINSIP PRINSIP WTO UNTUK NEGARA BERKEMBANG


BAB I
PENDAHULUAN
1.1          Latar Belakang

Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan  (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota  WTO  dan semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional.
Peluang Indonesia di WTO soal Mobnas diperdebatkan JAKARTA (Bisnis):[1]
Pengamat berbeda pendapat tentang posisi Indonesia   sebagai negara berkembang yang berhak memperoleh perlakuan khusus [special and deferential treatment] pada perdebatan soal Mobnas diWTO.
Pengamat ekonomi dari CSIS Mari Elka Pangestu mengemukakan pemerintah perlu membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara berkembang yang berhak memperoleh perlakuan khusus untuk memenangkan perdebatan soal Program Mobnas di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
“Pembuktian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu kartu truf  untuk dimainkan di meja WTO. Sedangkan pembuktiannya adalah dengan  menunjukkan neraca pembayaran dan fakta bahwa Program Mobnas [Mobil Nasional] merupakan infant industry,” ujarnya kemarin. Menurut dia, penggunaan status sebagai negara berkembang memang dimungkinkan secara hukum. Namun Mari meragukan apakah masalah Mobnas dapat masuk kategori tersebut secara mudah. “Preseden selama ini membuktikan bahwa negara berkembang yang pernah menggunakan pengecualian seperti itu tidak banyak.”
Dia mengaku tidak mempunyai data rinci mengenai keberhasilan Negara berkembang menerapkan jurus tersebut. Selain itu, jarang terjadi bahwa  negara berkembang menggunakan alasan itu di forum WTO. “Dugaan saya mengapa negara berkembang jarang menggunakannya karena mereka sulit membuktikan.”
Pengamat industri otomotif Soehari Sargo mengatakan berdasarkan Artikel 23 [Pasal XXVII GATT] bagian 8, negara berkembang boleh memberikan subsidi ke perusahaan di negaranya selama lima tahun untuk pengembangan ekonominya. Tapi, lanjutnya, pemberian subsidi tersebut dapat dibenarkan bilai disampaikan terlebih dahulu ke WTO sebelum program dilaksanakan. “Kalau industrinya memang benar-benar belum ada, dan pemerintah memberikan subsidi bagi perusahaan yang berniat mengembangkan industri tersebut… itu betul. Tapi untuk kasus Mobnas, status industrinya yang diperdebatkan.”
Soalnya, tutur Soehari, apakah kegiatan perakitan otomotif yang berdiri selama 20 tahun itu tidak dapat dianggap sebagai industri. Peluang sangat kecil, Menurut Bob Widyahartono, Dekan FE Universitas Indonusa Esa Unggul, peluang Indonesia memenangkan keluhan Jepang soal Mobnas sangat kecil.
 Sebab, ujarnya, argumen bahwa industri otomotif Indonesia sebagai infant industry [bayi] yang mesti dilindungi tidak relevan lagi. “Indonesia sudah menjadi middle development, jadi alasan infant untuk  memenangkan konsultasi di WTO sangat kecil,” katanya.
Mari juga mengingatkan pemerintah bahwa yang dihadapi Indonesia adalah negara yang sangat berpengalaman dalam sengketa perdagangan. “Baik sebagai ‘tertuduh’ maupun ‘penuduh’.”. Tindakan Jepang mengadukan masalah Mobnas ke WTO, lanjutnya, merupakan keputusan yang sudah matang. “Mereka tentu tidak ringan tangan memasuki proses ke WTO. Mereka sudah mempelajarinya dengan baik.”
Menurut Mari, negara berkembang memang masih dimungkinkan ‘melanggar’ ketentuan WTO untuk sementara waktu dengan meminta special and deferential treatment. Pemerintah, lanjutnya, perlu mengubah kebijakan Mobnas dengan  memberikan kesempatan kepada negara lain sehingga tidak melanggar prinsip non- diskriminasi WTO. Menurut Mari, dengan adanya WTO, posisi Indonesia menjadi lebih baik karena dapat berargumentasi dengan negara lain sepanjang menggunakan instrumen WTO.

1.2          Perumusan Masalah
1.     Bagaimanakah sejarah WTO dan GATT?
2.   Apakah Prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam WTO?
3.    Bagaimana perlindungan terhadap kepentingan nasional melalui pengucualian penerapan Pinsip-prinsip WTO terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia?

1.3          Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui secara singkat sejarah WTO dan GATT
2.   Untuk mendeskripsikan prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam WTO
3.    Untuk mendeskripsikan perlindungan apa yang diberikan terhadap kepentingan nasional melalui pengucualian penerapan prinsip-prinsip WTO terutama bagi negara-negara berkebang seperti Indonesia.






BAB II
PEMBAHASAN


2.1        Sejarah dan Prinsip Dasar GATT dan WTO

Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu bentuk-bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol) terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan negara-negara lainnya.
Sejarah membuktikan bahwa perdagangan internasional memegang peranan sangat menentukan dalam meneiptakan kemakmuran seluruh bangsa, tetapi di pihak lain perdagangan dan investasi internasional itu juga dapat menyengsarakan bangsa sehingga akhimya menjadi negeri jajahan. Oleh sebab itu kita perlu bertindak sangat hati-hati. Di bidang perdagangan internasional, saling ketergantungan tidak dapat dihindarkan lagj pada saat ini, apalagi dalam abad ke 21. World Trade Organization (WTO) sebagai sebuah organisasi perdagangan internasional diharapkan dapat menjembatani semua kepentingan negara di dunia dalam sektor perdagangan melalui ketentuan-ketentuan yang disetujui bersama. WTO ditujukan untuk menghasilkan kondisi-kondisi yang bersifat timbal balik dan saling menguntungkan sehingga semua negara dapat menarik manfaatnya. Melalui WTO, diluncurkan suatu model perdagangan dimana kegiatan perdagangan antar negara diharapkan dapat berjalan dengan lancar.
Pada prinsipnya World Trade Organization (WTO) merupakan suatu sarana untuk mendorong terjadinya suatu perdagangan bebas yang tertib dan adil di dunia ini. Dalam menjalankan tugasnya untuk mendorong terciptanya perdagangan bebas tersebut, World Trade Organization (WTO) memberlakukan beberapa prinsip yang menjadi pilar-pilar World Trade Organization (WTO). Yang terpenting di antara prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: Prinsip Perlindungan Melalui Tarif, Prinsip National Treatment, Prinsip Most Favoured Nations, Prinsip Reciprocity (Timbal Balik), Prinsip Larangan Pembatasan Kuantitatif. Prinsip Most Favoured Nations merupakan prinsip dasar (utama) WTO yang menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif, yakni semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan.

2.2          Prinsip-Prinsip Dasar WTO
Di dalam perkembangannya, WTO memiliki 5 (lima) prinsip dasar  GATT/WTO yaitu :
1.               Perlakuan yang sama untuk semua anggota (Most Favoured Nations Treatment-MFN).
Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitman yang dibuat atau ditandatangani dalam rangka  GATT-WHO harus diperlakukan secara sama  kepada semua negara anggota  WTO (azas non diskriminasi) tanpa syarat. Misalnya suatu negara tidak diperkenankan untuk menerapkan tingkat tarif yang berbeda kepada suatu negara dibandingkan dengan negara lainnya.
Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya.
2.               Pengikatan Tarif (Tariff binding)
Prinsip ini diatur dalam pasal II GATT 1994 dimana setiap negara anggota GATT atau WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea masuk atau tarifnya harus diikat (legally bound). Pengikatan atas tarif ini dimaksudkan  untuk menciptakan  “prediktabilitas” dalam urusan bisnis perdagangan internasional/ekspor. Artinya suatu negara anggota tidak diperkenankan untuk sewenang-wenang merubah atau menaikan tingkat tarif bea masuk.
3.               Perlakuan nasional (National treatment)
Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1994 yang mensyaratkan bahwa suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi antara produk impor dengan produk dalam negeri (produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini antara lain, pungutan dalam negeri, undang-undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi  penjualan, penawaran penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan produk, pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan campuran, pemrosesan  atau penggunaan produk-produk dalam negeri. Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik.
4.               Perlindungan hanya melalui tarif.
Prinsip ini diatur dalam pasal XI dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif.
5.               Perlakuan  khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang (Special dan Differential Treatment  for developing countries – S&D).
Untuk meningkatkan partisipasi nagara-negara berkembang dalam perundingan perdagangan internasional, S&D ditetapkan menjadi salah satu prinsip GATT/WTO. Sehingga semua persetujuan WTO memiliki ketentuan yang mengatur perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi negara-negara berkembang anggota WTO untuk melaksanakan persetujuan WTO.

GATT/WTO mengatur berbagai pengecualian dari prinsip dasar seperti :
-       Kerjasama regional, bilateral dan custom union.
Pasal XXIV GATT 1994 memperkenankan anggota WTO untuk membentuk kerjasama perdagangan regional, bilateral dan custom union asalkan komitmen tiap-tiap anggota WTO yang tergabung dalam kerjasama perdagangan tersebut tidak berubah sehingga merugikan negara anggota WTO lain yang tidak termasuk dalam kerjasama perdagangan tersebut.
-       Pengecualian umum.
Pasal XX GATT 1994 memperkenankan suatu negara untuk melakukan hambatan perdagangan dengan alasan melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan ;importasi barang yang bertentangan dengan moral;konservasi hutan; mencegah perdagangan barang-barang pusaka atau yang bernilai budaya, perdagangan emas.
-       Tindakan anti- dumping dan subsidi
Pasal VI GATT 1994, Persetujuan Antidumping dan subsidi memperkenankan pengenaan bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan hanya kepada perusahaan-perusahaan yang terbukti bersalah melakukan dumping dan mendapatkan subsidi.
-       Tindakan safeguards.
Pasal XIX GATT 1994 dan persetujuan Safeguard memperkenankan suatu negara untuk mengenakan kuota atas suatu produk impor yang mengalami lonjakan substansial yang merugikan industri dalam negeri.
-       Tindakan safeguard untuk mengamankan balance of payment
-       Melarang masuknya suatu produk yang terbukti mengandung penyakit berbahaya atau penyakit menular yang membahayakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.

2.3         Penerapan Prinsip-Prinsip Dasar WTO terhadap Kepentingan Nasional Negara Berkembang
Sebagai hakikat dari sistem liberalisme adalah kebebasan dalam berkegiatan ekonomi berupa produksi, konsumsi maupun perdagangan dengan merebut pasar tanpa campur tangan pihak manapun. Segala bentuk kejadian perkonomian terjadi karena mekanisme pasar berupa penawaran dan permintaan. Sebagaimana suatu pertarungan, free fight liberalism yang diusung dalam era globalisasi belakangan ini menjadi semakin sadis. Persaingan antara multinasional corporation raksasa dengan usaha kecil dan menengah tentu saja bukan persaingan yang adil. Juga persaingan antara negara maju dengan negara berkembang bahkan negara terbelakang juga dipaksakan untuk bertarung bebas. Dapat ditebak, pihak yang lemah pasti akan kalah dan dipastikan mati dalam pertarungan. Oleh karena itu, GATT/WTO menjadi semacam wasit/juri pertandingan dalam free fight liberalism tingkat global.
Slogan TINA (There Is No Alternative) dimana suatu keharusan berlaku diantara negara-negara yang melakukan perdagangan internasional untuk tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan GATT/WTO. Konsekuensi yang diperoleh ketika suatu negara yang melanggar kesepakatan GATT/WTO akan sangat berpengaruh dan merugikan negara itu sendiri, karena akan seperti dikucilkan dari pergaulan perdagangan global.
Kebijakan-kebijakan nasional negara juga tunduk dan patuh terhadap kesepakatan GATT/WTO sehingga kepentingan nasional yang berusaha melindungi industri nasional maupun peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi hal yang dinomorduakan dibandingkan dengan kepentingan perdagangan bebas yang dinikmati oleh eksportir-eksportir asing.
Walaupun GATT/WTO masih memaklumi dan memaafkan negara-negara berkembang untuk menerapkan pemberlakuan kesepakatan WTO dengan memberi waktu yang lebih panjang untuk mempersiapkan infrastruktur dan suprastruktur. Yang pada akhirnya mewajibkan seluruh anggota WTO untuk berada dalam semangat free fight liberalism tanpa terkecuali. Sehingga globalisasi merupakan suatu kepastian bagi seluruh negara di dunia dan hanya menunggu waktu saja untuk terjadi.
Dengan adanya prinsip non-diskriminasi maka perusahaan dari negara berkembang akan mengalami kesulitan dalam bersaing dengan negara maju yang lebih maju tingkat teknologinya. Akan tetapi, negara-negara berkembang rentan akan kerugian akibat perdagangan internasional yang hanya memiliki motif akumulasi laba belaka. Banjirnya komoditas produksi asing dalam pasar lokal akan membuat pelaku ekonomi lokal terpukul dengan penurunan harga dan trend konsumsi pasar yang akan membuat permintaan produk lokal menurun bahkan mati di pasar dalam negeri. Negara-negara berkembang sangat rentan akan suatu injury dalam perekonomian nasional karena berbagai sebab, salah satunya adalah minimnya fasilitas yang disediakan negara pada pelaku ekonomi nasional dan penguasaan teknologi serta sumberdaya manusia yang kalah jauh tertinggal dengan negara-negara maju. Apalagi negara-negara berkembang merupakan pasar yang harus mengkonsumsi produk-produk asing buatan negara-negara maju yang mengalami overproduction, sehingga pasar domestik akan terus dipaksa membeli komoditas asing. Jika suatu negara mengalami peningkatan impor yang signifikan dan tiba-tiba serta mengancam perekonomian nasional maka ini disebut sebagai injury.  Jika terkena injury maka suatu negara berhak melakukan tindakan safeguards dengan pembatasan impor untuk melindungi perekonomian nasional. Tindakan safeguards ini pada hakikatnya merupakan penyimpangan terhadap prinsip free fight liberalism, namun terpaksa harus dilakukan demi keberlangsungan perekonomian nasional khususnya kepada negara-negara berkembang yang rentan terhadap injury semacam itu.
Oleh karena itu, WTO melakukan suatu perlakuan khusus terhadap negara-negara berkembang sesuai salah satu prinsip yaitu Special and Differential to Developing Nations yang dapat mengecualikan suatu negara (berkembang) untuk dimaafkan bila terpaksa melanggar kesepakatan WTO.

Safeguards Negara-negara Berkembang
Safeguards dikenal dalam Pasal XIX poin pertama GATT 1994 tentangEmergency Action on Imports of Particular Products sebagaimana tertulis sebagai berikut:
(a) If, as a result of unforeseen developments and of the effect of the obligations incurred by a contracting party under this Agreement, including tariff concessions, any product is being imported into the territory of that contracting party in such increased quantities and under such conditions as to cause or threaten serious injury to domestic producers in that territory of like or directly competitive products, the contracting party shall be free, in respect of such product, and to the extent and for such time as may be necessary to prevent or remedy such injury, to suspend the obligation in whole or in part or to withdraw or modify the concession.
(b) If any product, which is the subject of a concession with respect to a preference, is being imported into the territory of a contracting party in the circumstances set forth in sub-paragraph (a) of this paragraph, so as to cause or threaten serious injury to domestic producers of like or directly competitive products in the territory of a contracting party which receives or received such preference, the importing contracting party shall be free, if that other contracting party so requests, to suspend the relevant obligation in whole or in part or to withdraw or modify the concession in respect of the product, to the extent and for such time as may be necessary to prevent or remedy such injury.
Agreement on Safeguards menetapkan bahwa suatu negara anggota tidak boleh menggunakan atau mempertahankan pembatasan ekspor sukarela maupun penetapan persetujuan pemasaran terarah maupun kebijaksanaan lain yang serupa terhadap sisi ekspor maupun impor. Setiap kebijaksanaan sejenis itu yang masih berlaku pada saat perjanjian ini dinyatakan berlaku atau harus dihapus secara bertahap dalam waktu 4 (empat) tahun. Pengecualian dapat dibuat untuk suat kebijaksanaan khusus namun harus disetujui bersama oleh negara anggota GATT(WTO) lainnya.
Dalam keadaan mendesak, suatu kebijaksanaan safeguards sementara (provisional safeguards) dapat diterapkan atas dasar penetapan pendahuluan menghadapi kerugian yang riil. Jangka waktu berlakunya kebijaksanaan safegurads sementara tersebut tidak boleh melebihi 200 (dua ratus) hari. Agreement on Safeguards juga menentukan kriteria untuk penetapan adanya suatu serious-injury dan pengaruh spesifiknya terhadap impor sebagai berikut:
-          Tindakan safeguards dapat diterapkan hanya sepanjang diperlukan untuk melindungi atau mengatasi kerugian yang serius dan memudahkan penyesuaiannya.
-          Apabila pembatasan yang digunakan, diterapkan dalam bentuk pembahasan kuantitatif atau quantitative restriction maka hal itu tidak boleh mengurangi jumlah impor rata-rata per tahun selama-lama 3 (tiga) tahun berturut-turut sesuai data statistik yang tersedia, kecuali ada alasan yang secara jelas diberikan yaitu bahwa tingkat perbedaan tersebut diperlukan untuk melindungi atau mengatasi kerugian yang serius.
Safeguards adalah hak darurat membatasi impor apabila terjadi peningkatan impor yang menimbulkan serious-injury terhadap industri domestik. Tindakansafeguards tidakboleh diterapkan terhadap suatu produk yang berasal dari suatu negara berkembang yang menjadi anggota perjanjian ini jika pangsa impor dari produk tersebut tidak lebih dari 3% (tiga persen). Namun  larangan penetapan tindakan safeguards terhadap negara berkembang yang menjadi anggota perjanjian yang pangsa impornya kurang dari 3% hanya berlaku bila secara kolektif pangsa negara berkembang tidak lebih dari 9% (sembilan persen) dari keseluruhan impor produk yang bersangkutan.
Selanjutnya ditentukan bahwa negara berkembang mendapat hak untuk memperpanjang jangka waktu penerapan suatu tindakan safeguards yang dilakukannya untuk suatu kurun waktu sampai melebihi 2 (dua) tahun di luar batas maksimal yang normal. Negara tersebut juga dapat menerapkan kembali suatu tindakan safeguards terhadap suatu produk yang pernah menjadi subjek tindakan semacam itu untuk suatu kurun waktu yang sama dengan setengah dari jangka waktu tindakan sebelumnya, atau tidak kurang dari dua tahun.

Perlakuan dan pembedaan yang diberikan oleh WTO

Committee on Governmental Procurement
Negara berkembang yang berminat masuk dalam perjanjian khusus ini dapat dikecualikan dari ketentuan mengenai national treatmnent melalui negosiasi dengan negara-negara penadatangan lainnya. Pengecuaian tersebut dapat diberikan kepada negara-negara berkembang yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayaran ataupun karena situasi tingkat perkembangan, keuangan dan perdagangannya tidak memungkinkan negara yang bersangkutan untuk dapat memenuhi ketentuan mengenai national treatment tersebut. Selain itu bagi negara-negara berkembang yang menjadi anggota suatu regional-global arrangement antara negara-negara berkembang dapat dikecualikan dari ketentuan national treatment tersebut (Pasal III: 4, 5 ,6 dan 7)
Adanya Committee on Government Procurement yang merupakan badan pengawas pelaksanaan Agreement tersebut, dan diikutkannya wakil dari negara berkembang dalam Committee tersebut maka kepentingan negara berkembang dapat diperjuangkan.
Adanya bantuan teknis yang dapat diberikan atas permintaan negara berkembang yang bersangkutan. Bantuan tersebut dimaksudkan untuk membantu negara-negara berkembang untuk memecahkan permasalahan yang mereka hadapi dalam bidang government procurement(Pasal III: 8 dan 9)
Negara-negara maju akan mendirikan information centre untuk menampung dan menjawab pertanyaan yang diajukan negara berkembang sehubungan dengan masalah government procurement (Pasal III:10)
Mengenai special and differential treatment, oleh committee secara berkala akan dilakukan peninjauan kembali apakah pengecualian yang diberikan kepada suatu negara akan diperpanjang waktunya. (Pasal III: 13)

Waiver dan Pembatasan Darurat terhadap Impor
GATT mengijinkan diadakannya perkecualian dalam bentuk waiver dan langkah darurat lainnya. Perkecualian dalam bentuk waiver misalnya suatu negara dalam melaksanakan kebijakan bidang pertaniannya sebenarnya melanggar GATT, tetapi karena telah ditetapkan sebelum adanya GATT, maka kebijakan tersebut memperoleh waiver (pelepasan tuntutan).
Dalam kasus tertentu suatu negara dapat menghadapi suasana darurat yang memerlukan penanganan dengan mengambil langkah proteksi karena industri dalam negerinya menghadapi masalah. Pasal XIX mengizinkan suatu negara untuk mengambil langkag protektif tersebut. Tetapi pasal XIX menyatakan bahwa langkah protektif tersebut adalah langkah darurat yang bersifat sementara. Perkecualian tersebut dikenal sebagai safeguards. Dengan syarat yang ditentukan secara khusus, suatu negara anggota GATT dapat menerapkan suatu restriksi dalam impornya atau mencabut konsesi tariff yang telah diberikan kepada negara lain untuk produk-produk yang telah mengalami peningkatan impor yang sedemikian besar shingga menimbulkan kesulitan yang berat untuk industri dalam negeri negara-negara yang bersangkutan.

Perkecualian untuk Perjanjian Perdagangan Regional
Perjanjian perdagangan regional banyak dimaksudkan bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan hambatan perdagangan dalam bentuk bea masuk (tariff) atau hambatan lainnya (non-tariff). Perjanjian semacam ini sebenarnya bertentangan dengan prinsip most-favored-nation.
Namun demikian, Pasal XXIV GATT telah mengizinkan perjanjian perdagangan regional, tetapi dengan ketentuan bahwa tujuannya untuk meningkatkan perdagangan, tanpa harus meningkatkan bea masuk maupun hambatan non-tariff tambahan terhadap  barang dari negara-negara non-anggota sehingga menimbulkan hambatan pada taraf yang lebih tinggi daripada yang berlaku sebelum adanya perjanjian.






BAB III
PENUTUP


A.                                     Kesimpulan

Perlidungan Terhadap Kepentingan Nasional Melalui Pengecualian Penerapan Prinsip-prinsip WTO terutama bagi Negara-negara Berkembang seperti Indonesia diberikan dengan perlakuan-perlakuan khusus seperti:
Bagi negara-negara berkembang yang menghadapi masalah neraca pembayaran yang serius, dapat diizinkan menggunakan langkah restriksi kuantitatif dengan kriteria yang lebih lunak dari negara maju (Pasal XVIII)
Negara berkembang juga mendapat hak untuk memperpanjang jangka waktu penerapan suatu tindakan safeguards yang dilakukannya untuk suatu kurun waktu sampai melebihi 2 (dua) tahun di luar batas maksimal yang normal. Negara berkembang tersebut juga dapat menerapkan kembali suatu tindakan safeguardsterhadap suatu produk yang pernah menjadi subjek tindakan semacam itu untuk suatu kurun waktu yang sama dengan setengah dari jangka waktu tindakan sebelumnya, atau tidak kurang dari dua tahun.
Selain itu secara umum, negara-negara berkembang diberi waktu yang lebih panjang untuk menerapkan isi perjanjian-perjanjian WTO daripada negara-negara lain. Negara-negara berkembang diberikan kesempatan untuk mempersiapkan infrastruktur dan suprastruktur bagi perjanjian-perjanjian dan aturan-aturan WTO dengan diberi jangka waktu pemberlakuan yang lebih. Dengan begitu negara-negara berkembang diharapkan dapat lebih siap bersaing dengan negara-negara lain.


 DAFTAR PUSTAKA

H. S. Kartadjoemena, “GATT dan WTO; Sistem Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan”, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS), 1996
“GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round”, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS), 1997
World Trade Organization, rue de Lausanne 154, CH-1211 Geneva 21, Switzerland
www.wikipedia.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar