Selasa, 10 Mei 2011

Pkn sebagai disiplin ilmu

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Kewarganegaraan mengalami perubahan nama sejak kurikulum 1957 sampai sekarang. Beberapa istilah yang pernah digunakan antara lain mulai dari Civics, Kewarganegaraan, Pendidikan Kewargaan Negara, Civics dan Hukum, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Meskipun demikian Pendidikan Kewarganegaraan pada hakikatnya mempunyai substansi yang sama, yakni berkaitan dengan pengajaran politik, demokrasi, hak dan kewajiban warganegara.
Pada masa sekarang kehadiran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) harus betul-betul dimaknai sebagai jalan yang diharapkan akan mampu mengantar bangsa Indonesia menciptakan demokrasi, good governance, negara hukum dan masyarakat madani yang diidealkan seluruh masyarakat. (TIM ICCE, 2005). Pendidikan Kewarganegaraan secara subsatantif bertujuan mendidik warganegara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pendidikan kewarganegaraan masuk sebagai mata kuliah dari sejak lama yang bermula pada tahun 1907 dipelopori oleh W.A. Dunn yang disebut gerakan Community Civics. Gerakan ini sebagai wujud keinginan lebih fungsionalnya pelajaran (mata kuliah) civics bagi para peserta didik (siswa dan mahasiswa) dengan menghadapkan mereka kepada lingkungan atau kehidupan mereka sehari-hari dalam hubungannya dengan ruang lingkup lokal, nasional, maupun internasional. Perkembangan pengajaran civics atau pendidikan kewarganegaraan selanjutnya tidak terlepas dari pengajaran civics di Amerika sejak tahun 1790, seperti yang dikemukankan oleh Numan Somantri (Suriakusumah,1992) “pengajaran civics mulai diperkenalkan tahun 1790 di Amerika Serikat dalam rangka meng-Amerikakan bangsa Amerika atau terkenal dengan Theory of Americanization”
Berdasarkan fenomena tersebut maka Pendidikan Kewarganegaraan (Civics) kemudian dikaji secara lebih mendalam, baik sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu maupun Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu atau/Pendidikan Disiplin Bidang Studi.
B. Rumusan Masalah
Dari apa yang telah dipaparkan di atas, untuk lebih menfokuskan kajiannya maka penulis memaparkan makalah ini dengan permasalahan umum “bagaimanakah kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu?”. Dengan sub-sub masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Pendidikan Disiplin Ilmu?
2. Apakah Pendidikan Kewarganegaraan masuk kedalam sebuah disiplin ilmu?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini secara umum adalah untuk mendeskripsikan lebih mendetail tentang konsep pemahaman akan kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu. Dan secara khusus adalah sebagai salah satu bentuk partisipasi dalam menyelesaikan tugas perkuliahan yang diberikan oleh dosen Pengampuh mata kuliah Landasan dan Teori Pendidikan Kewarganegaraan.
D. Metode Penulisan
Dalam mengkaji permasalahan di atas, penulis menggunakan metode analisis literatur kepustakaan dan data-data yang bersumber dari media internet yang dipadukan dengan hasil analisa penulis.

BAB II
PEMBAHASAN
MEMAHAMI KEDUDUKAN PKN SEBAGAI PENDIDIKAN DISIPLIN ILMU

A. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu
Pendidikan kewarganegar¬aan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizenship) untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. . Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatu crash program. Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status perta¬ma, kedua, ketiga, dan keempat. Sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru dalam statusnya yang ketiga yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu (Somantri:1998), pendidikan kewarganegaraan merupakan program pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP) Jurusan atau Program Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini. Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah pendidi¬kan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan kewarganegaraan.
Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan kewarganegaraan. Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cender¬ung lebih terpusat pada profesionalisme guru. Sementara itu riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegar¬aan sebagai suatu sistem pengetahuan, belum banyak mendapat¬kan perhatian. Disiplin ilmu pendidikan lebih kepada pendidikan tentang ilmu pendidikan seperti misalnya fakultas ilmu pendidikan. Sedangkan pendidikan disiplin ilmu mengacu kepada fakultas lainnya seperti pendidikan MIPA, pendidikan IPS, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Bahasa, dan lain sebagainya.
Program pendidikan disiplin ilmu bidang studi ilmu sosial dirumuskan sebagai “program pendidikan yang menyeleksi disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan” (hlm. 19, Dokumen ISPI, 1995). Rumusan akademik tentang pendidikan disiplin ilmu/bidang studi tersebut bertujuan untuk memberikan manfaat bagi pencapaian tujuan dan program pendidikan, khususnya untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Akan tetapi, karena pendidikan keguruan mempunyai fungsi mengembangkan akademik tingkat perguruan tinggi dan harus dapat menerapkannya untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, maka karakter pendidikan disiplin ilmu yang dibina harus memperhatikan dan mempelajari segala sesuatu yang berkenan dengan sifat peserta didik, kurikulum, buku pelajaran, serta sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menegah.
Sama halnya dengan disiplin ilmu pendidikan, pendidikan disiplin ilmu atau bidang studi harus merujuk kepada tiga unsur disiplin ilmu, yakni;
1. A community of scholars who choose to call themselves by a particular name,
2. A body of thinking, speaking and above all, writing by these scholars, which consist of facta, concepts, generalizations and theories,
3. A method of approach to knowledge, i.e process whereby these scholars acquire, organize, and use their knowledge (Dufty, 1986:154)
Rujukan ketiga unsur disiplin ilmu tersebut hendaknya diikuti oleh masyarakat ilmiah ilmu pendidikan yang melalui pendekatan syntactical structure dan conceptual structur menghasilkan berbagai penelitian pendidikan. Pendidikan disiplin bidang studi merupakan suatu synthentic discipline, baik dilihat dari perkembangan akademik IKIP maupun peningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah serta kemungkinan penugasan di luar bidang kependidikan sekalipun (Wider mandate, Numan Somantri, 2001)
Disiplin ilmu pendidikan dan pendidikan disiplin ilmu dituntut untuk berinteraksi dalam keseluruhan jaringan ilmu, teknologi, dan seni demi pemecahan masalah pembangunan nasional. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila Disiplin Ilmu Pendidikan dan Disiplin Pendidikan ilmu tidak terlalu melihat pendidikan secara mikro seperti prosese belajar mengajar di kelas, melainkan harus meleburkan diri secara makro dan inter-serta trans-disipliner dengan berbagai disiplin ilmu lainnya. Adapun cirri-ciri dari Pendidikan Disiplin Ilmu dalam banyak kepustakaan dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Pendidikan Disiplin Ilmu adalah hasil rekayasa “intercross-, dan trans-discipliner” antara Disiplin Ilmu Pendidikan dengan disiplin ilmu “murni” (di universitas) untuk tujuan pendidikan dasar, menengah, dan Fakultas Pendidikan (bidang studi).
2. Pendidikan Disiplin Ilmu merupakan seleksi, adaptasi, modifikasi dari hubungan inter-discipliner antara Disiplin Ilmu Pendidikan dan disiplin ilmu (universitas) yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. (NCSS).
3. Pendidikan Disiplin Ilmu “is conceive as the subject matter of the academic disciplines somehow selected, simplifield, adapted, and modified for school instruction” (NCSS).
4. Pendidikan Disiplin Ilmu ada juga yang menyebutnya “middle studies” karena berdiri pada dua disiplin ilmu, yaitu sains dan humaniora (Earl Johnson).
Selanjutnya menurut Numan Somantri (2001):
pendidikan Disiplin Ilmu adalah suatu batang tubuh disiplin (baru) yang menyeleksi konsep, generalisasi dan teori dari struktur disiplin-disiplin ilmu (universitas) dan Disiplin Ilmu Pendidikan yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Karena tujuan akhir Pendidikan Disiplin Ilmu adalah tujuan pendidikan itu sendiri, maka keterkaitan Pendidikan Disiplin Ilmu ini sangat luas di antaranya dengan agama, filsafat ilmu, filsafat pancasila, sains, teknologi dan masalah-masalah social yang dihadapi.
Sebagai batang tubuh disiplin baru, Pendidikan Disiplin Ilmu tetap memiliki sifat-sifat disiplin ilmu dan berinteraksi dengan disiplin ilmu pendidikan:
1. Pendidikan Disiplin Ilmu harus menciptakan “a community of scholars”.
2. Pendidikan Disiplin Ilmu harus merupakan “a body of thinking, speaking, and above all, writing by these scholars which consist of fact, concepts, generalizations, and theories”.
3. Pendidikan Disiplin Ilmu harus merupakan “a method of approach to knowledge, i.e a process whereby these scholars acquire, organize, and use their knowledge” (Dufty, 1986).
Dalam forum komunikasi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Yogyakarta tahun 1991, dirumuskan tentang Disiplin Ilmu Soaial sebagai berikut:
Pendidikan Disiplin Ilmu Sosial adalah seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu social yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan pendidikan FPIPS dalam kerangka pencapaian tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila, sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Berkaitan dengan hal di atas maka kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bagian dari pendidikan disiplin ilmu social, tidak terlepas dari konsep disiplin ilmu social itu sendiri, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan disiplin ilmu social yang tidak tidak dapat dipisahkan dari pendidikan disiplin ilmu politik dan hukum yang juga bernaung di bawah pendidikan disiplin ilmu sosial. Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk kajian lintas-bidang keilmuan ini pada dasarnya telah memenuhi kriteria dasar-formal suatu disiplin (Dufty,1970; Somantri:1993) yakni mempunyai community of scholars, a body of thinking, speaking, and writing; a method of approach to knowledge dan mewadahi tujuan masyarakat dan warisan sistem nilai (Somantri:1993). Ia merupakan suatu disiplin terapan yang bersifat deskriptif-analitik, dan kebijakan-pedagogis. Jika dilihat dari pandangan Kuhn (1970) secara paradigmatik, pendidikan kewarganegaraan baru memasuki pre-paradigmatic phase atau proto science. Untuk dapat menggapai statusnya sebagai normal science diperlukan berbagai penelitian dan pengembangan lebih lanjut oleh anggota komunitas ilmiah “pendidikan kewarganegaraan” sehingga dapat melewati proses artikulasi sosialisasi-pengakuan-falsifikasi-validasi-pengakuan sebagai disiplin yang matured. Di samping itu, juga konsep pendidikan kewarganegaraan digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaran sebagai program pendidikan demokrasi.
Sedangkan Ilmu Kewarganegaraan sebagai disiplin ilmu bertujuan untuk mengemangkan konsep, teori mengenai peranan warga negara dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain berkenaan dengan demokrasi politik yang meliputi hak dan kewajiban, kegiatan dasar manusia, yang diorganisir secara ilmiah, pdagogis, dan psikologis. Sehingga dengan orientasi yang fundamental tersebut, diharapkan terbentuknya warga negara yang baik dapat direalisasikan secara optimal.
Dalam kajiannya sebagai salah satu dari pendidikan disiplin ilmu, istilah Pendidikan Kewarganegaraan sering disamakan dengean Ilmu Kewarganegaraan. Namun sebenarnya, Pendidikan Kewarganegaraan cakupannya lebih luas dari pada Ilmu Kewarganegaraan , terkait dengan tujuan Pendidikan Kewarganegaraa yang merupakan disiplin ilmu sebagai bentuk pembelajaran dari proses dan cara pembinaan terhadap warga negara menjadi warga Negara yang baik dengan acuan disiplin ilmu dari Ilmu kewarganegaraan. karena antara Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Kewarganegaraan adalah satu rangkaian disiplin ilmu yang saling berkaitan maka diperlukan sebuah konsep dimana antara Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Kewarganegaraan saling mengisi satu sama lain. Sehingga terjalin hubungan konsep yang berkesinambungan.
B. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Disiplin Ilmu
Pendidikan Kewarganegaraan (Civics) sebagai suatu ilmu Kewarganegaraan memenuhi syarat sebagai sebuah ilmu seperti ilmu pengetahuan lainnya. Civics juga merupakan kumpulan dari berbagai macam pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari para pakar, khususnya ilmu politik yang dipadukan secara harmonis dan telah diuji kebenarannya. Menurut pandangan para pakar ilmu pengetahuan, suatu pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu apabila suatu pengetahuan memenuhi persyaratan-persyaratan seperti bersifat objektif, sistematis, eksperimental, memperluas pengetahuan, dan memiliki metode. (Suriakusumah, 1992).
1. Objektif
Artinya bahwa kesimpulan yang ditarik bebas dari perasaan-perasaan maupun prasangka-prasangka perseorangan, serta menjauhi hal-hal yang bersifat subjektif. Memang civics mempelajari perilaku manusia yang selalu penuh dengan dinamika, sehingga sulit diramalkan secara ilmiah. Namun demikian setiap ilmu berusaha menyederhanakan bahan penelitiannya. Dewasa ini ilmu-ilmu social termasuk didalamnya civics/Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri telah mengembangkan berbagai teknik kuantitatif penggunaan konsep-konsep, generalisasi-generalisasi, serta teori-teori yang dapat diuji secara empiris.
2. Sistematis
Dalam arti ilmu berupaya melihat sejumlah observasi yang kompleks dalam hubungan yang logis. Guna melihat keseluruhan dunia kenyataan, Pendidikan Kewarganegaraan membentuk berbagai macam teori-teori maupun pengertian-pengertian dari para ahli, yang dapat memberikan pegangan dalam mempelajari keadaan lingkungan sekitarnya.
3. Eksperimental
Kesimpulan yang ditarik sebagai suatu hasil penelitian seyogyanya merupakan hasil percobaan, sebab dengan eksperimenlah dapat diperoleh kesimpulan yang seobjektif mungkin berdasarkan pengujian yang berulang-ulang. Dalam teori perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dapat dipelajari banyaknya eksperimen yang dilakukan oleh para ahli dalam upaya meningkatkan persatuan dan kesatuan bansa sesuai dengan perkembangan serta tuntutan perubahan zaman.
4. Memperluas Pengetahuan
Artinya suatu pengetahuan tidak berhenti setelah dipecahkannya suatu masalah, akan tetapi pemecahan masalah tersebut kiranya memberi kesempatan membuka suatu permasalahan baru. Demikian pula dengan civics, para pakar tidak berhenti pada suatu masalah yang telah mereka pecahkan, justru dengan pengetahuan itulah mereka berusaha mengetahui bahwa ada sesuatu yang lain yang belum mereka ketahui. Hal ini dapat dilihat dari perkembangannya pelajaran civ cs, baik di Negara-negara asing maupun di Indonesia yang berkaitan dengan isi maupun peristilahannya.
5. Memiliki Metode
Hakikat ilmu yang utama adalah sebagai suatu metode pendekatan terhadap keseluruhan dunia empiris, yaitu dunia kenyataan yang dapat dikenal oleh manusia melalui berbagai macam pengalamannya. Civics tumbuh dan berkembang berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris manusia dalam hubungannya dengan negaranya masing-masing. Dari berbagai macam pengalaman tersebut dilakukanlah berbagai cara pendekatan yang dari waktu ke waktu diharapkan menjadi lebih baik serta bermanfaat.
Selain itu, sebuah ilmu juga harus memiliki unsur ontologi, epistimologi dan aksiologi. Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu yang bersifat terapan. Oleh karenanya pendidikan kewarganegaraan juga memiliki ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur tadi akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Unsur Ontologi
Unsure ontologi pendidikan kewarganegaraan memiliki dua dimensi, yakni objek telaah dan objek pengembanngan (Winataputra, 2001). Objek telaah adalah keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praksis. Yang dimaksud dengan aspek idiil pendidikan kewarganegaraan adalah landasab dan kerangka filosofik yang menjadi titik tolak sekaligus sebagi muaranya pendidikan kewarganegaraan Indonesia. Yang termasuk ke dalam aspek idiil disini adalah landasan dan tujuan pendidikannasonal yangtertuang dalam UUD 1945 dan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sementara itu, yang dimaksud dengan aspek instrumental pendidikan kewarganegaraan adalah sarana programatik kependidikan yang sengaja dibangun dan dikembangkan untuk menjabarkan substansi aspek-aspek idiil. Yang termasuk ke dalam aspek instrumental tersebut adalah kurikulum, bahan belajar, guru, media, dan sumber belajar, alat penilaian belajar, ruang belajar dan lingkungan.
Adapun yang dimaksud dengan praxis dalam bahasa Latin, pendidikan kewarganegaraan adalah perwujudan nyata dari sarana programatik pendidikan yang kasat mata, yang pada hakikatnya merupakan penerapan konsep, prinsip, prosedur, nilai, dalam pendidikan kewraganegaraan sebagai dimensi yang berinteraksi dengan keyakinan, semangat dan kemampuan para praktisi, serta konteks pendidikan kewarganegaraan yang didikat oleh substansi idiil sebagai dimensi pronesis yakni truth and justice (Carr and Kemis: 1986 dalam Budimansyah & Suryadi). Yang termasuk ke dalam praksis pendidikan kewarganegaraan adalah interaksi belajar di kelas dan atau di luar kelas dan pergaulan social-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang memberi dampak edukatif kewarganegaraan.
Sedangkan objek pengembangan pendidikan kewarganegaraan adalah ranaha social-psikologis, yakni keseluruhan potensi social peserta didik yang oleh Bloom (1956), Kratzwohl (1962), Simpson (1967), dikategorikan sebagai ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik, yang secara programatik diupayakan untuk ditingkatkan kualitas dan kuatitasnya melalui kegiatan pendidikan.
Aspek kepribadian warganegara yang perlu dikembangkan adalah menjadi insane berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (Visi Pendidikan Nasional menurut UU No. 20 tahun 2003). Sejalan dengan hal ini Depdiknas berhasrat untuk menghasilkan insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif. Cerdas komprehensif meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas social, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetik. Sedangkan maksud manusia kompetitif adalah memiliki kepribadian unggul dan gandrung akan keunggukan, bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, inovatif, produktif, sadar mutu, berorientasi global, pembelajar sepanjang hayat.
2. Unsur Epistimologi
Epistimologi pendidikan kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan metodologi pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru melalui metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Sedangkan metode pengembangan digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan rekayasa kulikuler yang relevan guna mengembangkan aspek-aspek social-psikologis peserta didik dengan cara mengorganisasikan berbagai unsure instrumental dan kontekstual pendidikan. Metode penelitian dan metode pengembangan dapat pula diperlakukan secara terintegrasi sebagai kegiatan penelitian dan pengembangan, seperti dalam bentuk kegiatan penelitian tindakan atau “action research”.
3. Unsur Aksiologi
Aksiologi pendidikan kewarganegaraan adalah berbagai manfaat dari hasil penelitian, hasil pengembangan, dan/atau hasil penelitian dan pengembangandalam bidang kajian pendidikan kewarganegaraan yang telah dicapai bagi kepentingan dunia pendidikan, khususnya bagi dunia persekolahan dan pendidikan tenaga kependidikan. Salah satu contoh penting manfaattersebut adalah dikembangkannya berbagai model pembelajaran nilai yang merupakan salah satu misi dari pendidikan kewarganegaraan.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari paparan permasalahan di atas, maka dapat disimpukan beberapa hal yang berkaitan dengan kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu, antara lain:
1. Pendidikan kewarganegar¬aan dalam pengertian sebagai citizenship education, mempunyai lima status yakni; sebagai mata pelajaran di sekolah; sebagai mata kuliah di perguruan tinggi; sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru; sebagai program pendidikan politik dan Pancasila; dan sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran ndividual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status perta¬ma, kedua, ketiga, dan keempat.
2. Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya.
3. Secara pendidikan disiplin ilmu kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan kewarganegaraan.
4. Program pendidikan disiplin ilmu bidang studi ilmu social dirumuskan sebagai “program pendidikan yang menyeleksi disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora yang diorganisasikan dan sajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan
5. Pendidikan Kewarganegaraan memenuhi syarat sebagai suatu disiplin ilmu.
B. Saran
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu perlu mendapat kajian yang lebih spesifik lagi dari kita selaku kaum ilmuan. Hal ini mengingat kompleksnya permasalahan yang terdapat di dalamnya, yang menuntut kita untuk mengkaji lebih mendalam, baik secara konseptual maupun kontekstual pemahaman yang menyeluruh bila kita ingin Pendidikan Kewarganegaraan tetap eksis dalam perkembangan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Sumantri, N. (2005). Menggagas Pembahruan Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suriakusumah. (1992). Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan dan Masalah Warganegara. Bandung: IKIP Bandung.
TIM ICCE UIN JAKARTA. (2005). Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.
ProdiPKNSPsUPI. Powered by WordPress | Talian designed by VA4Business, Virtual Assistance for Business who's blog can be found at Steve Arun's Virtual Marketing Blog

Peran Komunikasi Terhadap Lancarnya Proses Belajar Mengajar


BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan berisi suatu interaksi antara pendidik dan peserta didik sebagai untuk membantu peserta didik dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan. lnteraksi tersebut dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga dan sekolah (Sukmadinata, 1998: 1). Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memegang peran signifikan dalam proses pengajaran.Pendidikan dapat mengubah pandangan hidup, budaya dan perilaku manusia. Pendidikan juga berfungsi mengantar manusia menguak tabir kehidupan sekaligus menempatkan dirinya sebagai pelaku dalam setiap perubahan. Pendidikan menurut Meier (2002:41) bertujuan menyiapkan manusia untuk menghadapi berbagai perubahan yang membutuhkan kekuatan pikiran, kesadaran dan kreatifitas. Dalam Alquran terdapat konsep perintah membaca, menelaah, meneliti, dan menghimpun dan sebagainya. Hal ini merupakan sinyal fenomenon bahkan neumenon dalam Islam. Tuntutan atau perintah membaca dalam Islam sangat urgen, karena manusia sebagai khalifah bukan sekedar melakukan bacaan dengan ikhlas tetapi harus didasari bismi rabbikka (dengan nama Tuhan), dalam memilih bahan­bahan bacaan yang tidak mengantarnya kepada hal-hal yang bertentangan dengan nama Allah.

Agama mendorong manusia untuk menggunakan persepsi rasional yang baik, religius yang amat etis pula. Agama sangat menghendaki suatu bentuk intelektualisme. Etos keilmuan adalah suatu bagian integral keagamaan yang sehat. Ia muncul karena adanya kemampuan pada dirinya sendiri dan pada sistem keyakinan yang dianut.Mengingat pendidikan selalu berkenaan dengan upaya pembinaan manusia, maka keberhasilan pendidikan sangat tergantung pada unsur manusianya.



BAB II

Pembahasan

1. A. Peranan Komunikasi Antar Pribadi Orang Tua Dengan Anak

* Materi Komunikasi Antar Pribadi Orang tua Dengan Anak

Murid yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga terutama tentang cara orang tua mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap belajarnya. Orang tua atau keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Orang tua yang kurang berkomunikasi tentang pendidikan anak-anaknya akan dapat berpengaruh terhadap prestasi belajarnya. Menurut Slameto (2003:61) megemukakan bahwa hal-hal atau materi komunikasi antar pribadi orang tua dengan anak dalam meningkatkan prestasi belajarnya, antar lain :

1. Orang tua melakukan komunikasi mengenai waktu belajar anak-anaknya.
2. Orang tua memperhatikan dan mengkomunikasikan dengan anak tentang kepentingan- kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan anak-anaknya dalam belajar.
3. Orang tua berkomunikasi kepada anak tentang waktu belajar anak.
4. Orang tua senantiasa melakukan komunikasi dengan anak tentang kemajuan belajarnya.
5. Orang tua melakukan komunikasi dengan anak mengenai kesulitan-kesulitan yang dialami dalam belajar.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa anak didik sangat besar peranannya dalam melakukan komunikasi antar pribadi dengan anak dalam meningkatkan prestasi belajar terutama anak di SD. Materi komunikasiyang dimaksudkan di atas sangat menentukan tingkat keberhasilan atau prestasi murid di SD. Mungkin anak sebetulnya pandai, tetapi karena cara belajarnya tidak teratur akibat kurang komunikasi denganorang tua, sehingga mengalami ketinggalan dalam belajarnya. Hasil yang didapatkan atau nilai hasil belajarnya tidak memuaskan atau bahkan gagal dalam studinya. Hal ini dapat terjadi pada anak dari keluargayang orang tuanya terlalu mengurus pekerjaan mereka sehingga kurang komunikasi dengan anak-anaknya.

* Efektivitas Komunikasi Antar Pribadi Orang Tua Dengan Anak

1. Konsep Efektivitas Dalam Komunikasi

Efektivitas berasal dari kata “efektif yang berarti ada efeknya, akibatnya, kesan serta pengaruhnya terhadap sesuatu benda atau perkara”. (Depdikbud, 2001:115) Efektivitas merupakan suatu organisasi. Efektivitas adalah pencapaian tujuan melalui pemanfaatan sumber dayayang dimiliki secara efisien, baik dilihat dari segi input maupun output.
Efektivitas berarti terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Setiap pekerjaan yang dilaksanakan secara efisien sudah tentu efektif, karena dilihat dari segi hasil, tujuan atau akibat yang dikehandaki dengan perbuatan itu telah tercapai. Sebaliknya suatu pekerjaan yang efektif belum tentu efisien karena hasil dapat saja tercapai tetapi mungkin menggunakan sumber daya yang berlebihan yang tidak sesuai dengan rencana sebelumnya, apakah itu tenaga, pikiran, waktu dan sebagainya.
Little John (1962 : 85) mengemukakan bahwa “dalam konsep efektivitas komunikasi, yang menjadi tujuan utama dan pertama komunikasi manusia adalah untuk dimengerti”. Jadi komunikasi efisien bila Source dan Receiver terhadap message ada kesamaan.

Rahmat (1998 : 79) mengatakan bahwa “komunikasi dikatakan efektif bila pertemuan Source (sumber) merupakan hal yang menyenangkan Receiver (penerima)”.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran, efektivitas komunikasi yang ditekankan adalah efektivitas penerimaan pesan, yaitu “komunikasi yang dilancarkan sedemikian rupa sehingga menimbulkan efek kognitif, afektif, dan konatif pada komunikan sesuai dengan tujuan komunikasi” (Effendi, 1989 : 101).
Sesuatu pesan yang dikirimkan tidak saja diinginkan untuk dimengerti tapi juga untuk direspon, diberi reaksi yang diinginkan agar maksudnya tercapai untuk menerima respon yang diinginkan. Jika itu terjadi pesan yang dikirim tidak hanya efisien tetapi juga efektif. Jadi “respon atau reaksi yang diinginkan dari suatu komunikasi merupakan test dari efektivitas daripada komunikasi” (Effendi,1989:102).

1. Kriteria dan Prinsip Komunikasi Pembelajaran yang Efektif

Komunikasi yang efektif dalam pembelajaran banyak ditentukan oleh keaktifan pebelajar dan pembelajar dalam bentuk timbal balik berupa pertanyaan, jawaban pertanyaan atau berupa perbuatan baik secara fisik maupun secara mental. Adanya umpan balik ini memungkinkan pembelajar mengadakan perbaikan-perbaikan cara komunikasiyang pernah diakukan. Keefektifan komunikasi menunjuk kepada kemampuan orang untuk menciptakan suatu pesan dengan tepat, yaitu pengirim pesan dapat mengetahui penerima dapat menginterprestasikan sama dengan apayang dimaksudkan oleh si pengirim diinterprestasikan sama oleh si penerima, berati komunikasi tersebut efektif.

Komunikasi yang efektif hendaknya memadukan ketiga kriteria tersebut. Selain itu keefektifan pembelajaran sangat ditentukan oleh adanya perhatian dan minat pebelajar. Ini sesuai dengan , model “AIDA singkatan dari Attention (perhatian ), Interest (minat), Desire (hasarat),dan Action (kegiatan)” (Sendjaja, 1993:105). Maksudnya agar terjadi kegiatan pada diri pebelajar sebagai komunikan, maka terlebih dahulu harus dibangkitkan perhatian dan minatnya kemudian dilanjutkan dengan penyajian bahan. Dengan demikian timbul hasratnya untuk melaksanakan kegiatan, sehingga walaupun persepsinya tidak terlalu lama sama dalam menerima pesan tetapi perbedaannya tidak terlalu banyak. Karena secara psikologis setiaporang akan menanggapi dan memberi makna yang berbeda-beda sesuai dengan karakternya masing-masing.

Komunikasi mengandung kualitas yang mengarahkan persepsi positif. Komunikasi melaksanakan tujuan-tujuan organisasi dan tujuan-tujuan pribadi yang dianggap efektif, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa komunikasi antar pribadi orang tua dalam meningkatkan prestasi belajar sangat efektif dilakukan. Efektivitas komunikasi yang dimaksud adalah efektivitas penerimaan pesan, yaitu komunikasi yang dilancarkan sedemikian rupa sehingga menimbulkan efek kognitif, efektif, dan psikomotor pada komunikan sesuai dengan tujuan komunikasi. Hal ini terjadi selama dalam proses pembelajaran.

1. Prestasi Belajar

* Pengertian Prestasi Belajar

Kata prestasi berarti “hasil yang telah dicapai dari yang telah dilakukan atau dikerjakan” (Depdikbud,2001:895). Prestasi yang dimaksudkan di sini adalah suatu hasil yang dicapai mengenai pendidikan atau pelajaran.
Sesuai dengan hal tersebut, Sardiman (1996 : 22) mengemukakan: “Belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan sebagainya”.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa prestasi belajar adalah suatu hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa berdasarkan kriteria-kriteria tertentu setelah dia menempuh kegiatan belajar mengajar dan diakhiri dengan evaluasi dari pihak guru.

* Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mengajar yakni pada dasarnya terdiri dari dua bagian yakni faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam individu yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar individu.

Faktor Intern

Faktor intern yang dimaksudkan di sini adalah faktor intern yang terjadi disekolah, yang di dalamnya termasuk guru dan siswa. Adapun faktor yang terpenting dalam proses belajar mengajar antara guru dan siswa adalah, ada tiga, yakni:

1) Faktor Jasmaniah

Untuk mencapai tujuan dalam proses belajar mengajar terbentuk manusia yang utuh di setiap aspek, baik akal, jasmani, rohani dan kesehatan dengan kehidupan kemasyarakatan, diperlukan syarat mutlak yakni kesehatan badan, tanpa ditunjang kesehatana badan, maka yang terlaksana di sekolah tidak bisa dikatakan proses belajar yang potensial. Hal ini sejalan dengan pendapat Slameto (1994 : 5) yaitu : “agar seseorang dapat belajar dengan baik haruslah mengusahakan kesehatan badannya tetap terjamin dengan cara selalu mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam bekerja, tidur, makan, olah raga dan rekreasi”.
Oleh karena itu kesehatan jasmani mutlak diperlukan, karena pada jasmani yang sehat terdapat akal fikiran yang sehat pula.

2) Faktor Psikologis

Adapun penulis maksudkan di sini adalah mengetahui tingkah laku yang terjadi dalam proses belajar mengajar, dimana dalam hal ini termasuk pembawaan sebagai faktor dasar yang dapat mempengaruhi proses belajar mengajar merupakan perilaku inti dalam proses pendidikan dimana antara anak didik dan pendidik berintegrasi.

Faktor pembawaan yang mempengaruhi proses belajar meliputi :

v Intelegensi

Intelegensi adalah kecakapan yang teridir dari tiga jenis, yaitu: kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dan efektif, mengetahui/menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat.

v Perhatian

Perhatian menurut AL-Gzali adalah “keaktifan jiwa yang tertinggi, jiwa itupun semata-mata tertuju kepada obyek (benda/hal) atau sekumpulan obyek”. Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya. Jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian siswa, maka timbullah kebosanan, sehingga ia tidak suka lagi belajar. “Agar siswa dapat belajar dengan baik, usahakanlah bahan pelajaran selalu menarik perhatian dengan cara mengusahakan pelajaran itu sesuai dengan bakatnya”. (Slameto : 1995 : 56).





v Minat

Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenai beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang diperhatikan terus menerus yang disertai senang dan dari situ diperoleh kepuasan.

v Bakat

Bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah berlatih.

3) Faktor Kelelahan

Faktor kelelahan adalah salah satu dari faktor intern yang dapat mempengaruhi proses belajar mengajar, sebab kelelahan pada seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat dibedakan atas dua macam yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. (Slameto, 1998 : 57).

Kelelahan jasmani terlihat dengan lemahnya tubuh dan timbul kecenderungan untuk membaringkan tubuh. Kelelahan jasmani terjadi karena kekacauan subtansi sisa pembakaran dalam tubuh, sehingga darah tidak/ kurang lancar pada bagian-bagian tertentu.

Kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuhan dan kebosanan, sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu hilang. Kelelahan ini sangat terasa pada bagian kepala dengan pusing-pusing sehingga sulit berkonsentrasi seolah-olah otak kehabisan daya untuk bekerja.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa kelelahan itu mempengaruhi belajar. Agar siswa dapat belajar dengan baik, harus dihindari jangan sampai terjadi kelelahan dalam bekerja, sehingga perlu diusahakan kondisi yang bebas dari kelelahan.



Faktor Ekstern

Faktor eksteren mempunyai peranan yang penting pula dalam proses belajar mengajar, dimana penulis mengelompokkan menjadi tiga faktor, yaitu: faktor keluarga, sekolah dan masyarakat.

1) Faktor keluarga

Keluarga adalah salah satu lingkungan pendidikan yang cukup berperan dalam perkembangan jiwa anak, karena dalam keluarga anak pertama kali menerima pendidikan. Murid yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga.

2) Faktor sekolah

Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah suatu organisasi dan wadah kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan pendidikan dengan memanfaatkan semua sumber daya secara efisien dan efektif. Sebab dalam hidup dan kehidupan manusia, tidak hanya hidup dalam keluarga saja, melainkan juga pada umur tertentu harus terlepas dari rumah untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman yang lebih luas di luar rumah, baik di sekolah maupun pada masyarakat umumnya.

Menurut Hamalik (2001:117) bahwa : “faktor sekolah mempengaruhi belajar mencakup metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah”.

3) Faktor masyarakat

Masyarakat merupakan eksteren yang juga berpengaruh terhadap siswa. Pengaruh itu terjadi karena keberadaan siswa dalam masyarakat yang mencakup kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan uraian-uraian yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keluarga, sekolah dan masyarakat sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak. Untuk itu dalam pencapaian hasil yang maksimal, maka diperlukan kerjasama yang baik dari subyek pendidikan tersebut, agar pertumbuhan dan perkembangan anak dapat berlangsung secara positif.





1. Pengertian Komunikasi

Secara etimologis, istilah komunikasi dalam Kamus Inggris Indonesia (John M. Echlos : 1996 : 131) ditemukan kata “communication, yang berarti hubungan, komunikasi, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya”.

Menurut Sendjaja (1993 : 24), komunikasi adalah : “suatu proses pembentukan, penyampaian, penerimaan, dan pengelolaan pesan yang terjadi dalam diri seseorang dan atau dua orang atau lebih dengan tujuan tertentu”.

Komunikasi menurut Mullyono (1988 : 43) adalah : “pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami”.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Komunikasi antar manusia hanya bisa terjadi bila didukung oleh sumber atau komunikasi pesan, saluran atau media, penerima atau komunikan, dan efek.





BAB III

PENUTUP

Demikian makalah ini kami buat sebagai tugas dari dosen pengampu mata kuliah Interaksi Belajar Mengajar dan agar dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Penulis menyadari banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka penulis mengharap saran,kritik dan masukan yang membangun agar dalam penyusunan makalah yang selanjutnya dapat lebih baik.





DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad. 1993. Strategi Penelitian Pendidikan. Bandung: Angkasa.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Depdikbud, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Little John S.W. 1995. Theories of Human Communication.Washington: Hun Bolt State University.

M.P. Yusuf. 1990. Komunikasi pendidikan dan komunikasi Instruksional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rahmat, Jamaluddin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sardiman AM. 1996. Interaksi dan motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Slameto. 1988. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Bina Aksara.

Suryabrata, Soemadi. 1985. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali.

Usman, Moh. Uzer. 1991. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

PENGGUNAAN MEDIA LINGKUNGAN DALAM PEMBELAJARAN MENULIS PUISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar diarahkan sebagai sarana pembinaan dan kesatuan bangsa, peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia siswa, sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia untuk berbagai keperluan, dan sarana pengembangan penalaran. Tujuan ‘idealis’ itu selanjutnya diturunkan ke dalam tujuan umum: (1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara; (2) siswa memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan; (3) siswa menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual (berpikir kreatif, menggunakan akal sehat, menerapkan pengetahuan yang berguna, dan memecahkan masalah), kematangan emosional dan sosial; dan (4) siswa mampu menikmati, memahami, dan memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
Pembelajaran sastra, secara umum akan menjadi sarana pendidikan moral. Kesadaran moral dikembangkan dengan memanfaatkan berbagai sumber. Selain berdialog dengan orang-orang yang sudah teruji kebijaksanaannya, sumber-sumber tertulis seperti biografi, etika, dan karya sastra dapat menjadi bahan pemikiran dan perenungan tentang moral. Karya sastra yang bernilai tinggi di dalammnya terkandung pesan-pesan moral yang tinggi. Karya ini merekam semangat zaman pada suatu tempat dan waktu tertentu yang disajikan dengan gagasan yang berisi renungan falsafi. Sastra seperti ini dapat menjadi medium untuk menggerakkan dan mengangkat manusia pada harkat yang lebih tinggi. Karya sastra tersebut dapat berupa prosa fiksi, puisi, maupun drama.
Di masa depan, pembelajaran sastra dikembangkan untuk mencapai tujuan-tujuan ideal seperti itu. Melalui pembelajaran sastra, anak diharapkan menjadi warga yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang luhur.
Mengikuti pandangan di atas, pengajaran bahasa Indonesia seharusnya dikembalikan pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu melatih siswa membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, dan mengapresiasi sastra yang sesungguhnya. Tugas guru adalah melatih siswa membaca sebanyak-banyaknya, menulis sebanyak-banyaknya, berdiskusi sebanyak-banyaknya. Artinya, guru harus menghindari pembelajaran yang berisi pengetahuan tentang bahasa Indonesia (using the language, not talk about the language). Apa yang diajarkan seharusnya dekat dengan kebutuhan berbahasa Indonesia siswa.
Pengajaran bahasa Indonesia dijalankan melalui pendekatan komunikatif, pendekatan tematis, dan pendekatan terpadu. Pendekatan komunikatif mengisyaratkan agar pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar diorientasikan pada penguasaan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi (bukan pembekalan pengetahuan kebahasaan saja). Pendekatan tematis menyarankan agar pembelajaran bahasa diikat oleh tema-tema yang dekat dengan kehidupan siswa, yang digunakan sebagai sarana berlatih membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara. Pendekatan terpadu menyarankan agar pembelajaran bahasa Indonesia didasarkan pada wawasan Whole Language, yaitu wawasan belajar bahasa yang intinya menyarankan agar kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan terpadu antara membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara. Dengan konsep itu, dalam jangka panjang, target penguasaan kemahirwacanaan itu bisa tercapai.
Prinsip yang mendasari guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia yang sangat linguistis. Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pembelajaran bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan. Sedangkan prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas bahasa tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai ‘pemicu’ kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa Indonesia agar dihindari.
Bahasa, di sekolah, sebagai alat untuk mengajar dan belajar. Melalui penggunaan bahasa, guru mengomunikasikan apa yang diajarkan dan siswa mengekspresikan apa yang mereka pelajari (DeStefano, 1984:155). Untuk berhasil di dalam kelas, siswa harus belajar membaca, menulis, dan menghitung. Kemudian, keberhasilan di sekolah juga ditentukan oleh oleh keterampilan akademik dan interaksional. Ketepatan informasi harus disalurkan dengan menggunakan bahasa yang tepat pula. Jadi belajar membaca dan menulis diperlukan untuk menyelesaikan sebagian besar tugas bagi siswa (DeStefano, 1984:156-157). Pertumbuhan kognitif adalah sebuah fungsi literasi. Kemampuan menulis mendorong pertumbuhan kognitif dan sebaliknya kognisi tumbuh bersama kemampuan menulis.
Di dalam berkolaborasi dengan guru ketika merencanakan, mengerjakan, dan melaporkan proyek misalnya, siswa secara simultan belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa. Mereka belajar berbahasa dengan menggunakan bahasa melalui mendengar, membaca, berdiskusi, dan membuat suatu perencanaan (menulis). Mereka juga belajar melalui bahasa, yakni ketika mempelajari dunia perkebunan misalnya dari buku- buku atau bacaan. Peristiwa mengobservasi dan kemudian melaporkannya adalah contoh belajar melalui bahasa.
Dengan belajar melalui bahasa, isi pelajaran dan bahasa secara simultan dipelajari. Meringkas pengalaman juga contoh belajar melalui bahasa. Lebih lanjut, kegiatan merencanakan kebun misalnya, sekaligus mencakup tiga aspek belajar bahasa secara simultan tanpa pengajaran secara langsung (melalui mata pelajaran bahasa). Guru memberikan konteks sosial dan intelektual yang mendukung pembelajaran dan penggunaan bahasa. Dalam kaitan ini, sesungguhnya guru merencanakan peristiwa literasi (literacy event) yang membuat siswa akrab untuk berpartisipasi secara mandiri. Tegasnya, dalam berbagai kesempatan, formal atau informal, guru menciptakan situasi dan siswa diberi pengalaman belajar berbahasa. Mereka membangun pemahaman terhadap dunia mereka melalui menyimak dan membaca dan mempresentasikannya melalui berbicara dan menulis (Platt, 1989).
Khusus mengenai kegiatan menulis, ia mempunyai posisi tersendiri dalam kaitannya dengan upaya membantu siswa mengembangkan kegiatan berpikir dan pendalaman bahan ajar. Berdasarkan penyelidikannya terhadap guru, pembelajaran dan kegiatan menulis, menurut Raimes (1987), bertujuan (1) memberikan penguatan (reinforcement), (2) memberikan pelatihan (training), (3) membimbing siswa melakukan peniruan atau imitasi (imitation, (4) melatih siswa berkomunikasi (communication), (5) membuat siswa lebih lancar dalam berbahasa (fluency), dan (6) menjadikan siswa lebih giat belajar (learning). Keenam tujuan pedagogis menulis itu secara berurutan dijelaskan berikut ini.
Pertama, menulis untuk memberi penguatan hasil belajar bahasa (writing for reinforcement). Tujuan pedagogis yang pertama ini mengarah kepada penguatan pemahaman unsur dan kaidah bahasa oleh siswa melalui penggunaan bahasa secara tertulis.
Kedua, menulis untuk memberi pelatihan penggunaan bahasa (writing for training). Tujuan pemberian pelatihan melalui menulis ini tidak terbatas pada pelatihan penggunaan bahasa (retorika dan struktur gramatika) dengan berbagai variasinya, tetapi juga dalam mengemukakan gagasan.
Ketiga, menulis untuk melakukan peniruan (imitasi) penggunaan retorik dan sintaktik (writing for imitation). Tujuan pedagogis ketiga ini mengarah pada upaya untuk meng-akrabkan siswa dengan aspek retorik dan sintaktik dalam menulis. Gaya pengungkapan gagasan dari wacana yang dibaca juga dapat "ditiru" untuk belajar.
Keempat, menulis untuk berlatih berkomunikasi (writing for communication). Melalui menulis siswa akan belajar berkomunikasi secara tertulis dalam kegiatan yang nyata. Pengalaman ini diharapkan juga memberi sumbangan dalam pengembangan kemampuan berkomunikasi secara lisan.
Kelima, menulis untuk meningkatan kelancaran (writing for fluency). Kelancaran yang dimaksud mencakup kelancaran dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta kelancaran dalam mengemukakan gagasan.
Terakhir, menulis untuk belajar (writing for learning). Tujuan pedagogis terakhir inilah yang sangat erat kaitannya dengan upaya pengembangan budaya belajar secara mandiri melalui membaca-berpikir-menulis. Menulis untuk belajar mempunyai makna yang sangat dalam untuk membuat siswa belajar secara benar dalam arti yang seluas-luasnya.
Kegiatan menulis ternyata mempunyai peranan penting bagi siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir dan mendalami bahan ajar. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila menulis menjadi aktivitas penting dalam setiap pembelajaran di sekolah. Itu berarti, perlu dikembangkan kegiatan menulis lintas kurikulum, mengingat: (1) menulis, selain membaca dan mendengar, bermanfaat untuk belajar, (2) menulis dapat membantu siswa mempelajari informasi baru dalam mata pelajaran yang sedang dipelajari, (3) menulis memfasilitasi strategi-strategi pemecahan masalah siswa untuk mengorganisasi informasi lama dan baru, (4) menulis dapat mengajarkan siswa konvensi pragmatik dan kesadaran akan mitra (tutur/tulis) dan mengembangkan proses penting agar mampu berkomunikasi secara berhasil, (5) menulis dapat mengajarkan siswa mengevaluasi kekritisannya terhadap informasi yang mereka pelajari, dan (6) menulis dapat mengajarkan kepada siswa bagaimana mereka menerima atau menganalisis pengalaman-pengalaman personal mereka sendiri (Beach, 1984:183-184). Alasan-alasan tersebut sejalan dengan upaya mengembangkan strategi heuristik pada siswa. Dengan demikian menulis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk semua mata pelajaran mengingat melalui menulis siswa dapat belajar bagaimana belajar, yakni melalui bagaimana membuat generalisasi, definisi, dan menerapkan skematanya terhadap sesuatu yang sedang dipelajari. Menulis tidak hanya bergantung pada proses kognitif tetapi juga dapat memberi penguatan afektif terhadap proses membaca. Oleh karena itu, menulis sebagai alat belajar perlu mendapat perhatian serius di sekolah (Beach, 1984).
Guru dapat memberdayakan siswa menjadi berhasil dan independen dalam belajar dengan dua cara, (1) mendokumentasikan efektivitas pengajaran yang dilakukan guru untuk memperbaiki hasil belajar, dan (2) guru menjadi mitra (partner) siswa dalam belajar (Eanes, 1997:54). Dengan kata lain, siswa membaca dan menulis untuk tujuan mencari, belajar, dan menerapkan informasi (isi) pelajaran. Dalam waktu yang bersamaan siswa dapat mengembangkan keterampilan literasi, misalnya: mengembangkan strategi membaca efektif, kebiasaan belajar secara efisien, memanfaatkan kosakata secara maksimal, berpikir kritis, dan percaya diri dalam menulis. Sebagai hasilnya, melalui aktivitas literasi akan memberdayakan siswa untuk mengadakan eksplorasi, meneliti, dan menikmati isi pengetahuan menurut kebutuhan dan minat mereka sendiri sebagai pembelajar yang independen (Eanes, 1997:54).
Dengan demikian, menurut McKenna dan Robinson (1990), hal itu dapat memaksimalkan pemerolehan isi pelajaran. Meskipun isi pelajaran memungkinkan diajarkan secara berhasil melalui pengajaran lisan secara langsung, McKenna dan Robinson mengidentifikasi empat alasan penting mengapa aktivitas kemahirwacaaan perlu dikembangkan. Pertama, hasil dari aktivitas literasi sebagai komplemen bagi pengajaran lisan dan meluaskan perspektif siswa. Kedua, aktivitas literasi memberikan sebuah tindak lanjut alamiah terhadap pengajaran langsung mendorong guru untuk melayani kebutuhan dan minat individual siswa. Ketiga, metode-metode terkini mengenai pengajaran langsung mencakup fase praktik, dalam hal ini aktivitas literasi tampaknya sangat sesuai. Keempat, siswa akan mempunyai tantangan untuk mengembangkan literasi isi lebih luas dari pengetahuan yang diperoleh dari disiplin ilmu dengan keterbatasan ruang lingkup dan waktu pelajaran. Kelas-kelas mata pelajaran merupakan seting yang ideal untuk praktik pengembangan keterampilan literasi. Terakhir, aktivitas literasi memberikan fondasi penting bagi perkembangan literasi dan belajar sepanjang hayat (Eanes, 1997:55). Aktivitas literasi juga dapat menjadikan siswa sebagai pembaca yang efektif, penulis yang kompeten, pemikir yang kritis, dan pembelajar yang mandiri.
Guru yang memberi pengajaran dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan sendiri mengenai isi teks akan meningkatkan pembelajaran karena guru mendorong keaktifan siswa dengan melatih menyusun kembali teks dan membangun makna. Siswa yang dapat menjawab pertanyaannya sendiri akan dapat mengecek pemahamannya mengenai teks yang telah dibacanya (Palinscar, 2001). Melalui serangkaian proses pembelajaran yang kaya tersebut, diharapkan siswa akan dapat mengembangkan keterampilan berpikir dan sekaligus mendalami bahan ajar berbagai mata pelajaran yang sedang diikuti. Kedua hal tersebut sangat penting bagi siswa untuk keberhasilan belajarnya di sekolah. Dengan demikian, kegiatan menulis sebagai bagian dari aktivitas inti literasi perlu terus dikembangkan di sekolah melalui pembelajaran setiap mata pelajaran.

B. Pembatasan Masalah
Gambaran pembelajaran bahasa Indonesia di atas sejauh ini masih jauh terapannya di kelas riil sekolah. Harapan bahwa dengan pembelajaran bahasa Indonesia anak-anak dapat membaca dengan baik, menulis dengan lancar, dan berbicara dengan sopan, baik, dan berani, masih ‘jauh panggang dari api’. Sebagian besar, guru masih berkutat pada penyampaian teori yang tak relevan dengan kebutuhan berkomunikasi. Permasalahan yang dihadapi pengajaran bahasa Indonesia masih kompleks dan perlu pembinaan terus-menerus. Masukan-masukan yang berupa laporan yang berasal dari keadaan nyata di sekolah akan sangat berarti bagi penentu kebijakan.
Dalam pengajaran sastra, kondisi tersebut lebih memprihatinkan. Siswa lebih banyak dijejali teori sastra daripada karya sastra. Akibatnya, “mereka (siswa) lebih paham teori sastra daripada karya sastra. Aktivitas langsung bergaul dengan karya sastra jarang dilakukan karena terbatasnya sarana kepustakaan.” (Haryadi dan Zamzani, 1996/1997: 1). Maka tingkat apresiasi siswa sangat rendah. Kegiatan menikmati karya sastra melalui membaca, mendengarkan, menonton pementasan, menciptakan, dan mendokumentasikan karya sastra pun belum membudaya. Padahal, tradisi semacam itu amat diperlukan oleh guru dalam usahanya memberi contoh dan keteladanan kepada anak didik.
Karya sastra terdiri atas prosa dan puisi. Khusus mengenai pembelajaran menulis puisi, standar kompetensi untuk kelas V semester 2 adalah: “Mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, dan fakta secara tertulis dalam bentuk ringkasan, laporan, dan puisi bebas.” (Depdiknas, 2006: 142). Sedangkan salah satu kompetensi dasarnya adalah: “Menulis puisi bebas dengan pilihan kata yang tepat.” (Depdiknas, 2006: 142).
Sesuai dengan tuntutan KTSP maka siswa kelas V sekolah dasar sudah harus mampu menulis puisi bebas dengan pilihan kata yang tepat. Namun fakta empiris sebagaimana yang dialami oleh penulis sebagai guru kelas V sekolah dasar, menemukan bahwa siswa kelas V pada umumnya belum mampu menulis puisi bebas dengan pilihan kata yang tepat. Bahkan siswa masih sangat sulit mengungkapkan gagasan, sesuatu yang sangat prinsipil dalam pembelajaran menulis.
Berdasarkan hasil analisis penulis maka dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa penyebab utama kegagalan menulis puisi terutama di kelas V sekolah dasar adalah karena kurang tepatnya media pembelajaran yang digunakan oleh guru. Dalam hal ini, Sudirman dkk. (1990: 211-212) mengungkapkan betapa pentingnya pemilihan media pembelajaran dan dampak edukatifnya sebagai berikut.
Kegiatan pemilihan media pengajaran ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan proses belajar-mengajar, sebab apabila salah dalam memilih media pengajarannya, keberhasilan proses berikutnya akan terpengaruh. Memilih media pengajaran harus dikaitkan dengan tujuan instruksional, strategi belajar-mengajar yang akan digunakan, dan sistem evaluasi yang akan digunakan.
Selanjutnya, Imam dkk. (2004: 90) menguraikan metode serta media dalam pembelajaran menulis puisi.
Berikut ini penjelasan metode pembelajaran dalam penulisan puisi beserta berbagai medianya. Tahap pertama, mengamati keindahan alam dalam kelompok kecil. Tahap kedua, menyelenggarakan perlombaan antar-kelompok kecil di tingkat kelas. Tahap ketiga, pengenalan figur dan magang. Tahap keempat, mempublikasikan puisi yang diciptakan siswa. Tahap kelima, mengadakan wisata sastra.
Gani (1988: 14) yang mengutip Probst dalam Resmini, Djuanda, dan Indihadi (2004: 91) menyatakan bahwa “pengajaran sastra harus membuat siswa mampu menemukan hubungan antara pengalamannya dengan karya sastra yang bersangkutan.”
Dari berbagai pendapat di atas secara eksplisit terungkap bahwa pembelajaran sastra khususnya pembelajaran menulis puisi di sekolah dasar dapat dilaksanakan melalui penggunaan media lingkungan. Lingkungan merupakan materi konkret untuk kepentingan manipulasi, konstruksi, dan keterlibatan aktif. “... kelas hendaknya menyediakan bahasa dalam konteks alami dan kelas yang kaya bahasa. Jika relevan, bahasa akan mudah dipelajari dan menjadi bagian suatu peristiwa nyata sehingga pembelajar memiliki kemampuan memanfaatkannya.” (Suwardjo dalam Zulkifly, 2006: 52).
Sejalan dengan itu, Hamalik (2001) dalam Zulkifly (2006: 52) mengemukakan “lingkungan merupakan faktor terpenting dalam proses belajar-mengajar karena lingkungan menyediakan proses rangsangan timbal-balik terhadap individu.”
Oleh karena itu, pembatasan masalah dalam makalah ini adalah: “Bagaimana penggunaan media lingkungan dalam pembelajaran menulis puisi di kelas V Sekolah Dasar”


C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini ialah: mendeskripsikan penggunaan media lingkungan dalam pembelajaran menulis puisi di kelas V Sekolah Dasar.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Pembelajaran Sastra di Sekolah Dasar

Pembelajaran sastra di sekolah dasar dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. “Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup.” (Depdiknas, 2003, dalam Resmini, Djuanda, dan Indihadi, 2006: 1991). Pengembangan kemampuan bersastra di sekolah dasar dilakukan dalam berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Adapun pemilihan bahan ajar tersebut dapat dicari pada sumber-sumber yang relevan.
Imam dkk. (2004: 67) mengemukakan contoh materi penulisan sastra yang diintegrasikan ke dalam keterampilan berbahasa lainnya yaitu menyimak, membaca, dan berbicara.
(1) Berbicara: siswa membicarakan unsur-unsur pembangun puisi kemudian mengungkapkan nilai-nilai keindahan sebuah puisi dengan menggunakan kata-kata sendiri; (2) Menyimak: siswa menyimak penjelasan mengenai teknik penulisan puisi kemudian mengungkapkan pokok yang terungkap dalam puisi dengan menggunakan kata-kata mereka sendiri; (3) Membaca: Siswa membaca teknik penulisan puisi kemudian mempraktikkan penulisan puisi dengan menggunakan kata-kata sendiri; (4) Kebahasaan: guru menulis larik-larik puisi yang di dalamnya terdapat penyimpangan struktur kalimat untuk kepentingan estetika misalnya: di awal pantai kureguk bunyi gerimis/ ketika pagi pergi aku diam terpahat/ kutinggalkan diriku dalam tidur/; (5) Kesastraan: siswa membaca kutipan novel, kemudian menceritakan jalinan cerita berdasarkan peristiwa dan dialog.


B. Tujuan Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia pada semua jenjang pendidikan (Atar Semi, 1993: 96) yaitu “membimbing anak didik agar mampu memfungsikan bahasa Indonesia dalam komunikasi dalam segala aspeknya.” Tujuan ini dirinci lagi oleh Depdiknas (2003) seperti dikutip Wijayanti (2007) yaitu (1) Siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa Negara, (2) Siswa memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan, (3) Siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan kematangan emosional, (4) Siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis), (5) Siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, (6) siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Sedangkan tujuan pembelajaran sastra secara garis besar diungkapkan oleh Atar Semi (1993: 101) sebagai berikut.
1. Siswa mampu meningkatkan kemampuan apresiasi sastra secara bertahap.
2. Mampu memetik nilai-nilai dan mengenal ide-ide baru melalui membaca sastra.
3. Mengetahui perkembangan ringkas sejarah pertumbuhan sastra Indonesia sebagai dasar menambah kecintaan terhadap sastra Indonesia.
4. Mampu memanfaatkan pengetahuan teori sastra dalam upaya meningkatkan mutu kemampuan mengapresiasi sastra.
C. Apresiasi Sastra
Apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti mengindahkan atau menghargai. Dalam kaitannya dengan karya sastra, apresiasi adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Bentuk-bentuk kegiatan apresiasi dan pengelompokkan sastra dikemukakan oleh Haryadi dan Zamzani (1996/1997: 114) berikut ini.
Kegiatan apresiasi sastra dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Kegiatan secara langsung dapat dilakukan dengan cara menggauli karya sastra, baik dengan cara menulis, mempublikasikan, membaca, mendengarkan, maupun menyaksikan pementasan karya sastra. Sementara itu kegiatan tidak langsung dapat dilakukan dengan mempelajari teori sastra, sejarah sastra, kritik, dan esai sastra. Selain itu, apresiasi sastra dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu apresiasi yang bersifat reseptif dan produktif. Apresiasi reseptif menekankan pada penikmatan, sedangkan apresiasi produktif menekankan pada proses kreatif dan penciptaan. Dalam hubungannya dengan apresiasi produktif, pengapresiasi dituntut menghasilkan karya sastra yang dapat berupa puisi, prosa, drama, pementasan karya sastra, dan esai.

Apresiasi sastra secara produktif tidak mungkin terwujud tanpa diberikan pengajaran menulis, khususnya menulis kreatif di sekolah-sekolah. Menulis kreatif memberikan kesempatan kepada para siswa untuk melatih dirinya mengemukakan ide imajinasinya dalam bentuk karya sastra, baik prosa, puisi maupun drama.
Bimbingan penulisan kreatif di sekolah-sekolah akan memberikan sumbangan terhadap pemekaran dan pengayaan khasanah sastra Indonesia. Bagi siswa, bimbingan penulisan kreatif dapat meningkatkan daya kreasi para siswa dan masyarakat pada umumnya yang semua ini sangat dituntut dalam dunia modern. Di samping itu, menulis kreatif dapat membantu siswa mengembangkan daya imajinasi, meluaskan fantasi, dan mengayakan memori.
Menulis kreatif merupakan kegiatan penulisan yang memanfaatkan kemampuan berpikir kritis, kepekaan imajinasi, dan kekuatan fantasi untuk mendukung fakta. Dalam hal ini kebenaran faktual tidak menjadi ukuran satu-satunya terhadap hasil tulisan. Sasaran utamanya bukan pada intelektual dan logika saja, melainkan rasa senang dan estetika. Pembaca terkagum bukan karena kebenaran logika dan fakta, melainkan pada kebenaran artistik yang ukurannya adalah kepekaan intuitif. Percy dalam Haryadi dan Zamzani (1996/1997: 115) mengemukakan delapan makna dan manfaat menulis kreatif yaitu: (1) mengungkapkan diri; (2) memahami perasaan dan pikiran; (3) meningkatkan kesadaran pengamatan terhadap lingkungan; (4) melibatkan diri secara aktif; (5) mengembangkan kemampuan bahasa; (6) mengembangkan keterampilan kognitif; (7) mengembangkan inisiatif dan disiplin diri; dan (8) mendapatkan kesenangan.

D. Konsep Dasar Puisi
1. Pengertian Puisi
Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima ‘membuat’ atau poeisis ‘pembuatan’, dan dalam bahasa Inggris poem atau poetry. “Puisi diartikan ‘membuat’ dan ‘pembuatan’ karena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah.” (Aminuddin, 1991: 134).
Hudson mengutip McCaulay dalam Aminuddin (1991: 134) mengungkapkan bahwa puisi adalah “salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaiannya untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya.”
2. Ragam Puisi
Aminuddin (1991: 134-136) menguraikan ragam puisi ditinjau dari bentuk maupun isinya, sebagai berikut.
a. Puisi epik, yakni suatu puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik kepahlawanan yang berhubungan dengan legenda, kepercayaan, maupun sejarah. Puisi epik dibedakan antara folk epic, yakni bila nilai akhir puisi itu untuk dinyanyikan, dan literary epic, yakni bila nilai akhir puisi itu untuk dibaca, dipahami, dan diresapi maknanya.
b. Puisi naratif, yakni puisi yang di dalamnya mengandung suatu cerita, dengan pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita. Termasuk dalam jenis puisi naratif ini adalah apa yang biasa disebut balada, yang dibedakan antara folk ballad, dengan literary ballad, sebagai suatu ragam puisi yang berkisah tentang kehidupan manusia dengan segala macam sifat pengasihnya, kecemburuan, kedengkian, ketakutan, kepedihan, dan keriangannya. Jenis puisi lain yang termasuk dalam puisi naratif adalah poetic tale sebagai puisi yang berisi dongeng-dongeng rakyat.
c. Puisi lirik, yakni puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman, sikap, maupun suasana batin yang melingkupinya. Jenis puisi lirik umumnya paling banyak terdapat dalam khazanah sastra modern di Indonesia seperti tampak dalam puisi-puisi Chairil Anwar, Sapardi Djokodamono, atau Goenawan Mohammad.
d. Puisi dramatik, yakni salah satu jenis puisi yang secara objektif menggambarkan perilaku seseorang, baik lewat lakuan, dialog, maupun monolog sehingga mengandung suatu gambaran kisah tertentu. Dalam puisi dramatik dapat saja penyair berkisah tentang dirinya atau orang lain yang diwakilinya lewat monolog.
e. Puisi didaktik, yakni puisi yang mengandung nilai-nilai kependidikan yang umumnya tertampil eksplisit.
f. Puisi satirik, yaitu puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat.
g. Romance, yakni puisi yang berisi luapan rasa cinta seseorang terhadap sang kekasih.
h. Elegi, yakni puisi ratapan yang mengungkapkan rasa pedih seseorang.
i. Ode, yaitu puisi yang berisi pujian terhadap seseorang yang memiliki jasa atau sikap kepahlawanan.
j. Himne, yaitu puisi yang berisi pujian kepada Tuhan maupun ungkapan rasa cinta terhadap bangsa maupun tanah air.
3. Bangun Struktur Puisi
Menurut Aminuddin (1991: 136), jika ditinjau berdasarkan unsur intrinsik pembentuknya, puisi terdiri atas dua unsur yakni (1) bangun struktur dan (2) lapis makna. Bangun struktur puisi adalah unsur pembentuk puisi yang dapat diamati secara visual. Unsur tersebut akan meliputi (1) bunyi, (2) kata, (3) larik atau baris, (4) bait, (5) tipografi. Bangun struktur disebut sebagai salah satu unsur yang dapat diamati secara visual karena dalam puisi juga terdapat unsur-unsur yang hanya dapat ditangkap lewat kepekaan batin dan daya kritis pikiran pembaca. Unsur tersebut pada dasarnya merupakan unsur yang tersembunyi di balik apa yang dapat diamati secara visual.
Unsur yang tersembunyi di balik bangun struktur disebut dengan istilah lapis makna. Richards dalam Aminuddin (1991: 150-151) memaparkan lapis makna tersebut sebagai berikut: (1) sense yaitu sesuatu yang diciptakan atau digambarkan oleh penyair lewat puisi yang dihadirkannya, (2) subject matter yakni pokok pikiran yang dikemukakan penyair lewat puisi yang diciptakannya, (3) feeling yaitu sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya, (4) tone ialah sikap penyair terhadap pembaca sejalan dengan pokok pikiran yang ditampilkannya, (5) total of meaning adalah keseluruhan makna yang terdapat dalam suatu puisi, dan (6) theme yaitu ide dasar dari suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan makna dalam suatu puisi.
4. Teknik Penulisan Puisi
Teknik penulisan puisi menurut Imam dkk. (2004: 39 - 45) adalah sebagai berikut.
a. Bahan
Banyak teori menyebutkan bahwa menulis puisi itu bermula dari tema karena tema merupakan hal yang hendak dikatakan penyair. Lalu orang sibuk mencari tema: cinta, keadilan, penderitaan. Setelah tema ditemukan, ternyata dia tak bisa menjabarkannya ke dalam larik-larik puisi. Sesungguhnya tema itu amatlah abstrak. Karena abstrak itulah kita mengalami kesulitan menguraikannya ke dalam larik-larik atau bait-bait puisi. Puisi tak harus berangkat dari tema, ia bisa berangkat dari mana saja. Bahan puisi adalah realitas kehidupan, pengalaman manusia sehari-hari. Banyak kejadian yang bisa digubah menjadi puisi. Hanya saja kita dituntut peka menangkap kejadian atau hal mana yang bisa dikembangkan jadi puisi. Kepekaan itulah sesungguhnya yang membedakan penyair dengan manusia massa.
b. Bentuk Ekspresi
Bentuk ekspresi menyangkut ciri visual puisi. Bagaimana kita menulis puisi, dalam arti menata hurufnya secara grafis. Puisi secara visual dibentuk oleh larik dan bait. Pada umumnya satu bait mengandung satu pokok pikiran. Fungsi bait tak jauh berbeda dengan fungsi paragraf dalam karya paparan. Satu bait dapat terdiri atas satu larik atau lebih.
c. Pengembangan Bahan
Puisi sebenarnya bukan sekadar ungkapan perasaan penyair, tetapi juga pemikirannya. Akibatnya penyair bukan sekadar melukiskan apa yang ia amati atau ia rasakan, tetapi juga memberikan penilaian, kritik, pemikiran, terhadap apa yang menyentuh kesadaran estetik dan kritisnya itu. Dalam proses penciptaan puisi terdapat berbagai sikap penyair dalam menghadapi realitas sebagai bahan: pertama, penyair sebatas merekam peristiwa atau fenomena alam; kedua, penyair memakai realitas sebagai media untuk mengungkapkan gagasan atau perasaan tertentu; ketiga, gagasan diungkapkan oleh penyair secara telanjang dan terbuka; keempat, gagasan atau realitas diungkapkan dengan mendayagunakan potensi bahasa yang unik dan menarik.
E. Pembelajaran Menulis Puisi dengan Media Lingkungan
Penyampaian materi pembelajaran menulis puisi bebas dengan menggunakan media lingkungan di kelas V SD hendaknya diawali dengan pengamatan. Siswa diajak menikmati keindahan alam di luar kelas (lingkungan) baik berupa taman/kebun sekolah, sawah, pinggir sungai, daerah pantai, lembah, perbukitan, maupun gunung. Siklus kegiatan pembelajaran menulis puisi bebas dengan menggunakan media lingkungan di kelas V SD menurut Imam dkk. (2004: 66) terdiri atas kegiatan mengamati, menikmati, dan menghayati baik secara individu maupun kelompok. Misalnya untuk materi menulis puisi, siswa diajak/diminta mengamati keindahan alam. Selanjutnya siswa dalam kelompok kecil berdiskusi tentang rumusan penulisan puisi. Setelah siswa tahu dan paham tentang penulisan puisi, guru dapat meminta siswa untuk praktik menulis puisi yang menyangkut tema tentang kehidupan nyata yang ada di sekitarnya, yaitu lingkungan hidup.
1. Pemilihan Materi Pembelajaran
Pemilihan materi pembelajaran penulisan puisi sesuai dengan butir-butir materi yang digariskan dalam kurikulum. Selain itu, materi juga harus disesuaikan dengan tingkat kelas siswa serta situasi dan kondisi yang melingkupinya. Materi menulis puisi di kelas V semester 2 adalah menulis puisi bebas dengan pilihan kata yang tepat. Situasi dan kondisi yang melingkupi kehidupan siswa yang dimaksud adalah guru yang mengajar di daerah perkotaan memilih latar taman kota dan alun-alun, guru yang mengajar di daerah pantai memilih latar laut dan nelayan.

2. Model Pembelajaran
Model pembelajaran yang tepat untuk menulis puisi menggunakan media lingkungan ialah model kontekstual dengan teknik-teknik inkuiri, tanya-jawab, konstruksionisme, pemodelan, dan kooperatif. (Imam dkk., 2004: 68).
Langkah-langkah kegiatan belajar-mengajar berdasarkan model dan teknik-teknik di atas adalah sebagai berikut.

MODEL PEMBELAJARAN MENULIS PUISI
MENGGUNAKAN MEDIA LINGKUNGAN

RENCANA PEMBELAJARAN
SATUAN PENDIDIKAN : SEKOLAH DASAR
KELAS/SEMESTER : V/2
MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA
KD : MENULIS PUISI BEBAS DENGAN
PILIHAN KATA YANG TEPAT
PERTEMUAN KE-/WAKTU: I/2 X 40 MENIT

Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
1. Kegiatan Awal
- mengecek kehadiran
- menjelaskan tujuan
- mengadakan apersepsi
2. Kegiatan Inti
- bertanya-jawab tentang
tema puisi
- mengajak menikmati
keindahan alam
- menugaskan membuat tabel (terlampir)
- menugaskan siswa memilih kata-kata dari tabel
- menugaskan siswa menjalin kata-kata
- menugaskan siswa menjalin kata-kata ke dalam larik
- menugaskan siswa menjalin larik-larik ke dalam bait
- menugaskan siswa menjalin bait-bait ke dalam puisi yang utuh
3. Kegiatan Akhir
- menyimpulkan materi bersama siswa.
- mengadakan tes akhir. 1. Kegiatan Awal
- menunjuk tangan
- menyimak
- menyimak
2. Kegiatan Inti
- bertanya-jawab tentang tema puisi
- menikmati keindahan alam

- membuat tabel

- memilih kata-kata dari tabel

- menjalin kata-kata

- menjalin kata-kata ke dalam larik
- menjalin larik-larik ke dalam bait
- menjalin bait-bait ke dalam puisi yang utuh
3. Kegiatan Akhir
- Menyimpulkan materi bersama guru.
- mengikuti tes akhir.


Pemodelan dilaksanakan pada Pertemuan II, salah satu puisi yang diciptakan siswa didiskusikan dengan fokus “pilihan kata/diksi yang tepat” sesuai lingkungan/benda yang dijadikan media. Ada yang bertindak sebagai penyair, moderator, notulis, dan peserta diskusi.
Evaluasi dalam pembelajaran pertemuan I maupun II adalah tes akhir berbentuk performance dengan instrumen lembar pengamatan (terlampir).
Pembelajaran dapat juga dilakukan dengan model “wisata sastra”; siswa diajak berwisata ke pantai, ke gunung, ke gedung pertunjukan, ke kebun binatang, ke tempat rekreasi, dan ke mana saja di luar kelas. Menurut Imam dkk. (2004: 81) maka dengan cara ini “pengamatan dan pengimajian dilakukan dalam suasana nyaman, damai, dan alamiah. Tahapan ini dapat dikemas dengan cara wisata sastra, anjangsana sastra, kunjungan sastra, dan kemah sastra.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Kegiatan menulis ternyata mempunyai peranan penting bagi siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir dan mendalami bahan ajar. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila menulis menjadi aktivitas penting dalam setiap pembelajaran di sekolah, termasuk pembelajaran menulis puisi (sastra). Namun pengajaran sastra, kondisinya memprihatinkan. Siswa lebih banyak dijejali teori sastra daripada karya sastra. Pembelajaran puisi untuk kelas V SD, sesuai dengan tuntutan KTSP, siswa kelas V sekolah dasar sudah harus mampu menulis puisi bebas dengan pilihan kata yang tepat. Namun secara empiris kompetensi itu belum dimiliki siswa. Bahkan siswa masih sangat sulit mengungkapkan gagasan, sesuatu yang sangat prinsipil dalam pembelajaran menulis. Memang pengajaran sastra harus membuat siswa mampu menemukan hubungan antara pengalamannya dengan karya sastra yang bersangkutan. Oleh karena itu, penulis termotivasi untuk menulis makalah berjudul “Penggunaan Media Lingkungan dalam Pembelajaran Menulis Puisi di Kelas V SD.”
Siklus kegiatan pembelajaran menulis puisi bebas dengan menggunakan media lingkungan di kelas V SD terdiri atas kegiatan mengamati, menikmati, dan menghayati baik secara individu maupun kelompok. Siswa diajak/diminta mengamati keindahan alam. Selanjutnya siswa dalam kelompok kecil berdiskusi tentang rumusan penulisan puisi. Setelah siswa tahu dan paham tentang penulisan puisi, guru dapat meminta siswa untuk praktik menulis puisi yang menyangkut tema tentang kehidupan nyata yang ada di sekitarnya, yaitu lingkungan hidup.
Model pembelajaran yang tepat untuk menulis puisi menggunakan media lingkungan ialah model kontekstual dengan teknik-teknik inkuiri, tanya-jawab, konstruksionisme, pemodelan, dan kooperatif. Langkah-langkah kegiatan belajar-mengajar berdasarkan model dan teknik-teknik tersebut adalah sebagai berikut.
Pertemuan I
Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
2. Kegiatan Awal
- mengecek kehadiran
- menjelaskan tujuan
- mengadakan apersepsi
Kegiatan Inti
- bertanya-jawab tentang
tema puisi
- mengajak menikmati
keindahan alam
- menugaskan membuat tabel (terlampir)
- menugaskan siswa memilih kata-kata dari tabel
- menugaskan siswa menjalin kata-kata
- menugaskan siswa menjalin kata-kata ke dalam larik
Kegiatan Awal
- menunjuk tangan
- menyimak
- menyimak
2. Kegiatan Inti
- bertanya-jawab tentang tema puisi
- menikmati keindahan alam

- membuat tabel

- memilih kata-kata dari tabel

- menjalin kata-kata

- menjalin kata-kata ke dalam larik



- menugaskan siswa menjalin larik-larik ke dalam bait
- menugaskan siswa menjalin bait-bait ke dalam puisi yang utuh
3. Kegiatan Akhir
- menyimpulkan materi bersama siswa.
- mengadakan tes akhir. - menjalin larik-larik ke dalam bait menjalin bait-bait ke dalam puisi yang utuh
3. Kegiatan Akhir
- Menyimpulkan materi bersama guru.
- mengikuti tes akhir.
Pemodelan dilaksanakan pada Pertemuan II, salah satu puisi yang diciptakan siswa didiskusikan dengan fokus “pilihan kata/diksi yang tepat” sesuai lingkungan/benda yang dijadikan media. Ada yang bertindak sebagai penyair, moderator, notulis, dan peserta diskusi.
Evaluasi dalam pembelajaran pertemuan I maupun II adalah tes akhir berbentuk performance dengan instrumen lembar pengamatan (terlampir).

b. Saran
Gani (1988: 14) yang mengutip Probst dalam Resmini, Djuanda, dan Indihadi (2004: 91) menyatakan bahwa “pengajaran sastra harus membuat siswa mampu menemukan hubungan antara pengalamannya dengan karya sastra yang bersangkutan.”
Oleh karena itu, berdasarkan data empiris dan pendapat ahli dapat disarankan bahwa pembelajaran sastra khususnya pembelajaran menulis puisi di sekolah dasar sebaiknya dilaksanakan melalui penggunaan media lingkungan. Lingkungan merupakan materi konkret untuk kepentingan manipulasi, konstruksi, dan keterlibatan aktif siswa.


DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. (1991). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: C.V. Sinar Baru;

Depdiknas. (2004). Menyambut Pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi.(Online). Tersedia: http://www.w3.org/tr/rec html.40. (11 Februari 2008).

Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Standar Kompetensi Mata Pelajaran SD/MI. Jakarta: Depdiknas;

Haryadi dan Zamzani. (1996/1997). Peningkatan Keterampilan Berbahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud;

Imam, dkk. (2004). “Pengembangan Kemampuan Menulis Sastra”, dalam Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas;
Nurhadi. (2004). Pendekatan Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang;
Resmini, N. Djuanda, D. dan Indihadi, D. (2006). Pembinaan dan Pengembangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: UPI Press;
Sudirman, N. dkk. (1990). Ilmu Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya;Wijayanti, Ari. (2007). Pengajaran Bahasa yang Efektif. (Online). Tersedia: http://lubisgrafura.wordpress.com. (11 Februari 2008;

Wijayanti, Ari. (2007). Pengajaran Bahasa yang Efektif. (Online). Tersedia: http://lubisgrafura.wordpress.com. (11 Februari 2008;

Zulkifly, E. (2006). “Pendekatan Daur Belajar Berbasis Lingkungan untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran.” Jurnal Pendidikan Dasar. 4. (5), 51-53;

Bahasa dan Sastra Sebagai Identitas Bangsa Dalam Proses Globalisasi

Bahasa dan Sastra Sebagai Identitas Bangsa Dalam Proses Globalisasi

Pendahuluan

Kita tengah memasuki abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III perhitungan Masehi. Perubahan abad dan perubahan milenium ini diramalkan akan membawa perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan dunia.

Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama (agrikultiur) dan gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi).

Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami untuk kemudian diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh rasa takut dan cemas yang berlebihan itu, antisipasi yang dilakukan cenderung bersifat defensif membangun benteng-benteng pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di dalam proses perubahan.

Bagaimana dengan bahasa dan sastra? Apakah yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia di dalam proses globalisasi? Apakah yang harus dilakukan dan kebijakan yang bagaiman yang harus diambil dalam hubungan sastra Indonesia dalam menghadapi proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas?

Mitos Tentang Globalisasi

Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.

Anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan "Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi". Ia di dalam bukunya itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks sehubungan dengan masalah ini. "Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan", "berfikir lokal, bersifat global." Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat.

Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000, Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan menjadi perhatian utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih mendapat tempat.

"Berpikir lokal, bertindak global", seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat (lokal) Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia.

Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia

Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah "menggusur" sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.

Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.

Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih.

Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).

Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.

Politik Bahasan dan Politik Sastra

Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang "pembinaan" dan "pengembangan" bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh mekanisme "pasar". Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan "bahasa yang baik dan benar". Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.

Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra Indonesia harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk bangsa Indonesia, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi semestinya menjadi tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.

Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.

Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif.

pendidikan kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan

PENDAHULUAN

Sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia dimulai era sebelum dan selama penjajahan, kemudian dilanjutkan pada era perebutan dan mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian kemerdekaan akan menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai zamannnya. Perbedaan dan kondisi serta tuntutan yang berbeda tersebut ditanggapi bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai yang senantiasa tumbuh dan berkembang berdasarkan nilai perjuangan bangsa. Kesamaan nilai-nilai tersebut dilandasi oleh jiwa, tekad, dan semangat kebangsaan, yang akhirnya sebagai pondasi kekuatan dalam proses terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Semangat perjuangan bangsa Indonesia yang tidak mengenal menyerah terbukti dengan diproklamasikannya NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaaan itu tidak terlepas dari anugrah Tuhan YME dan dilandasi rasa iman untuk rela berkorban.
Nilai-nilai perjuangan bansa Indonesia dalam perjuangan fisik baik dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan telah mengalami pasang surut sesuai dinamika kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Semangat perjuangan bangsa yang telah dilakukan dalam perjalanannya mengalami penurunan pada titik yang kritis, dan akhirnya akan berpengaruh terhadap sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh globalisasi.
Dalam menghadapi pengaruh globalisasi dan menyongsong masa depan yang lebih baik, harus dilakukan perjuangan non fisik sesuai dengan bidangnya masing-masing dengan perjuangan yang dilandasi oleh nilai- nilai perjuangan bangsa Indonesia, sehingga kita tetap memiliki wawasan dan kesadaran sikap dan prilaku yang cinta tanah air dan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam wadah NKRI.
Perjuangan non fisik tersebut memerlukan sarana kegiatan pendidikan bagi seluruh warga Negara dengan melalui pendidikan kewrganegaraan.
1.1.Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan
a.Dasar Pemikiran
Semangat dan jiwa yang tertuang dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 (antara lain pasal 30), serta pengalaman perjuangan bangsa Indonesia untuk menjamin tetap tegaknya NKRI selama lebih dari setengah abad telah menumbuhkan tekad dan keyakinan bangsa Indonesia serta merupakan suatu hal yang tak terelakan, bahwa kelangsungan hidup bangsa dan Negara Indonesia.
Semangat demikian inilah yang tersirat dalam pasal 30 UUD 1945 yang menegaskan bahwa “ Tiap-tiap warganegara Indonesia berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara”. Rumusan pasal 30 UUD 1945 ini mengandung makna adanya semangat semangat “demakratisasi” dalam penyelenggaraan pembelaan Negara. Dekratisasi dalam bidang aspek-aspek kehidupan bangsa, mempersyaratkan tiap-tiap warganegara memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya itu. Namun demikian disadari bahwa kesadaran warganegara terhadap hak dan kewajibannya itu tidak dibawa sejak lahir, tetapi harus ditanamkan, ditumbuhkan serta dikembangkan yaitu melalui upaya sosialisasi.
Sosialisasi adalah upaya memberikan pengetahuan dan ketrampilan kepada seseorang agar ia dapat melaksanakan peranannya dalam kehidupan social tertentu. Upaya sosialisasi yang terbaik adalah melalui pendidikan. Berdasarkan pada pemikiran demikian itu, pendidikan kewiraan sebagai upaya untuk menumbuh kembangkan kesadaran hak dan kewajiban warganegara dalam bela Negara dimasukan dalam kurikulum pendidikan tinggi.

b.Pendidikan Kewiraan
1. Pengertian, tujuan/sasaran Pendidikan kewiraan
Istilah pendidikan pada hakekatnya dari masa kemasa sejalan dan sederhana dinyatakan merupakan usaha sadar untuk mengciptakan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa datang. Istilah kewiraan berdasarkan pada kata Wira yang nmengandung beberapa arti seperti patriot, pahlawan, satria, perkasa dan berani.
Atas dasar itu dirumuskanlah pengertian pendidikan kewiraan adalah usaha sadar untuk menciptakan warganegara (sumber calon pemimpin bangsa) melalui kegiatan bimbingan, bagi peranannya untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan Negara menuju kejayaannya.
Tujuan/sasarannya ialah terbentuknya sarjana Indonesia yang mencintai tanah airnya, memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia yang tinggi, memiliki keyakinan yang tinggi terhadap pancasila sebagai dasar dan ideology serta siap dan rela berkorban untuk bangsa dan Negara.
Melalui pendidikan kewiraan ini diharapkan warganegra Indonesia memiliki sikap mental yang meyakini hak dan kewajiban serta tanggung jawab sebagai warganegara yang rela berkorban untuk membela bangsa dan Negara serta kepentingan nasionalnya.

2. Landasan Hukum
Pendidikan kewiraan dimasukan dalam kurikulum Pendidikan Tinggi berdasarkan keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia melalui surat keputusan nomor : 022/U/1973-kep/B/43/XII/1973 tanggal 8 desember 1973 tentang Penyelenggaraan pendidikan kewiraan. Namun realisasi dari surat keputusan bersama tersebut baru terwujud pada tahun akademik 1974/1975, berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan kebudayaan No.0228/U/1974 tanggal 2 oktober 1974. Undang-undang yang melandasi kerjasama Menteri Hankam dan Menteri Dikbud pada waktu itu ialah UU No.22 tahun 1954 tentang Perguruan Tinggi.
Dengan terbitnya UU No.20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan keamanan Negara, hal-hal yang berkaitan dengan Pendidikan kewiraan diakomodasikan dalam UU itu sebagai berikut
1.Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) adalah Pendidikan dasar bela Negara guna menumbuhkan kecintaan kepada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, kerelaan berkorban untuk Negara serta memberikan kemampuan awal bela Negara
2.PPBN sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional
3.PPBN diselenggarakan guna memasyarakatkan upaya bela Negara serta menegakkan hak dan kewajiban warganegara dalam bela Negara
4.PPBN wajib ikut oleh setiap warga Negara dan dilaksanakan secara bertahap yaitu :
a.Tahap awal pada Pendidikan Dasar sampai menengah Atas dan dalam gerakan
b. Tahap lanjutan dalam bentuk Pendidikan Kewiraan

Dengan terbitnya UU No.20 tahun 1982 itu, Penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan , mengalami penyempurnaannya. Dengan surat keputusan bersama Mendikbud dan Menhankam No.061/U/1985 dan No Kep/002/11/1985 tanggal I februari 1985 tentang kerjasama dalam pembinaan Pendidikan Kewiraan dilingkungan Perguruan Tinggi dan ditetapkan sebagai mata kuliah wajib dan merupakan bagian dari mata kuliah umum (MKDU).

c. Pendidikan kewarganegaraan
Dalam era reformasi, berturut-turut dengan keputusan Mendiknas No.232/U/2000, Kep Dirjen Dikti No.38/Dikti/Kep/2002, ditentukan bahwa nama mata kuliah Pendidikan kewiraan secara formal tidak lagi digunakan, istilah yang digunakan Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam komponen kurikulum Pendidikan tinggi. Pendidikan kewarganegaraan bersama-sama pendidikan pancasila dan pendidikan Agama merupakan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK).

1.2.Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Dasar Kelompok MPK
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai dasar kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) sesuai dengan keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.232/U/2000 . Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) ialah kelompok bahan kajian dari mata pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, berkepribadian mantap dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

1.3.Visi, Misi dan Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan
a.Visi Pendidikan Kewarganegaraan
Visi Pendidikan kewarganegaraan di Perguruan Tinggi adalah : Menjadi sumber nilai dan pedoman penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan mahasiswa mengembangkan kepribadiannya selaku warga Negara yang berperan aktif menegakkan demokrasi menuju masyarakat madani.
b. Misi Pendidikan Kewarganegaraan
Misi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi adalah : Membantu mahasiswa selaku warga Negara agar mampu mewujudkan nilai-nilai dasar perjuangan bangsa Indonesia serta kesadaran berbangsa, bernegara dalam menerapkan ilmunya secara bertanggunmg jawab terhadap kemanusiaan
c.Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan
Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi bertujuan untuk menguasai kemampuan berpikir, bersikap rasional dan dinamis, berpandangan luas sebagai manusia intelektual, serta mengantarkan mahasiswa selaku warga Negara RI yang memiliki :
1.Wawasan kesadaran bernegara untuk bela Negara dengan cinta tanah air
2.Wawasan kebangsaan, kesadaran berbangsa demi ketahanan nasional
3.Pola fakir, sikap yang komprehensif integrative (menyeluruh dan terpadu) pada seluruh aspek kehidupan nasional.
1.4. Penutup
Pembahasan tentang pemahaman kesadaran bernegara untuk bela Negara dan memiliki pola piker, pola sikap dan pola tindak bagi mahasiswa, agar cinta tanah air dan dapat diandalkan oleh bangsa dan Negara. Pada hakekatnya pendidikan adalah upaya sadar dari suatu masyarakat dan pemerintah suatu Negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan generasi penerusnya, selaku warga masyarakat, bangsa dan Negara, secara berguna dan bermakna serta mampu mengantisipasi hari depan mereka yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan kontak dinamika budaya, bangsa, Negara dan hubungan internasionalnya.
Melalui Pendidikan Kewarganegaraan Warga Negara Republik Indonesia diharapkan mampu “Memahami, menganalisa dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa dan Negara secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan nasional seperti yang digariskan dalam UUD 1945”.